Senin, 03 Februari 2014

NGALIH JUJUR

Jujur



Kemu mai nyeliksik

dini lan ditu kebitin

ngalih ane madan jujur

tusing masi tingalin

dija kaden mengkeb

aduh, sukil pesan alih

tolih ditu di kantor MPR / DPR

kantor Presiden, kantor Mentri

kantor Hakim / kantor Jaksa

kebitin ring kantor polisine

ring kantor bupati, walikota

kantor Camat lan kantor Lurah

kantor desa, bale banjar

nyantos ke sekolah sekolah

tur nyantos ring tengahing Pura

masi tusing tepuk ane madan jujur

Kakantenan...

jujur punika,

wantah ja mengkeb ring tungtung ati 

tengahing rasa

yaning jujure punika terus mabur

gumine manadi baur tanpa sulur

kelangan rasa

kelangan sujati

20.12.12

Minggu, 02 Februari 2014

Pencerahan Lewat Puisi



MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
           
            Hampir disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya celotehan  dari seseorang. Pertanyaan yang paling sering keluar  yaitu “ Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki berupa kekayaan  tidak akan pernah kita bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu  merupakan sebuah jalan menuju kesadaran rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
            Saking seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan dini /
 lakar kija malih lantur pejalane / apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi / anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu, mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini / kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
              Mungkin puisi bali yang saya tulis itu mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika. Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan  kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?. Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan seterusnya.
            Selanjutnya puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat lahiriah. Sebuah  Puisi bali yang saya beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan  wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//.  Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis  diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit sudah habis  ditoleh/ kan tetapi belum bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/ hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
            Puisi yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada keseimbangan  kebutuhan lahir dan batin. Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan dan kedamaian  meluluh kedalam batin. Bagi mereka yang telah mampu menjaga  diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
            Apabila pertanyaan-pertanyaan kedalam diri  semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri) seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane, apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De ngedoh teken ragane  apang tusing doh teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri / dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus diikat oleh itu yang kotor.
                        Untaian bait – bait syair diatas  mengisyaratkan pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang Diri. Keterlupaan  diri kepada diri yang sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu, jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang bersifat  kotor dan keruh tidak menempel pada sang diri.  Seperti sabda sang tercerahkan  Budha Gautama “ Kosong itu berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri  sembari menyelam dalam diri yang sejati.

                                                                                                            I Nyoman Musna

God on Poem



TUHAN

Bila aku melihatMu di batu cadas
Engkau melukis diriMu disana
Bila aku lihat di pepohonan itu
Engkau tersenyum manis
 dalam  warna kembang dan buah
Bila aku melihat di pasir pantai
Engkau berkilau putih kuning
Dalam gelombang samudra
Engkau berkilat cahya pelangi
Pada Rembulan Engkau lembut
Pada mentari Engkau terik
Pada bintang Engkau cemerlang
Pada bumi Engkau kokoh memberi
Pada goa Engkau gelap melindungi
Pada gunung Engkau kokoh kekar
Pada sungai Engkau aliran pembersih
Pada danau Engkau kesejukan
Pada langit Engkau atap semesta kosong
Pada badan Engkau Sel-sel
Pada nurani Engkau Jiwa
Pada semesta Engkau ternyata Jiwa Agung
Pada yang terbatas
Engkau tiada batas
Pada yang tak ku mengerti
Engkau pengertian
Pada yang gelap,engkau penerang
Pada kebutaan engkau pembimbing
Pada apa Engkaupun  Ada
Hanya engkau yang Ada
13.1.13

What Is A God?




“TUHAN”  ITU APA DAN ADA DIMANA ?

Where does God live?
Is there somewhere I can go to see Him,
to be with Him?
                        Begitu banyak tulisan yang memasalahkan tentang keberadaan Tuhan, baik oleh para rohaniawan, tokoh agama, intlektual bahkan masyarakat biasapun begitu greget membicarakan Tuhan. Ada yang memasalahkan kata ganti nama Tuhan yaitu “HIS” atau “ITS”, ada mengatakan Tuhan itu tak berujud( Acintya ), ada mengatakan berbentuk cahaya ( Aditya ) serta banyak lagi Nama dan Rupa Tuhan dikonotasikan kedalam konsep nyata agar manusia dapat lebih mudah membayangkan keberdaan Tuhan.
            Jika kita sejenak merenung dan menerawangkan pikiran pada sebuah cerita tiga orang buta yang sedang mengasumsikan pendapatnya pada  seekor gajah, si buta A yang memegang kaki gajah dan mengatakan gajah itu seperti pilar raksasa, si buta B yang meraba telinga gajah mengatakan gajah itu adalah nampar besar , sedang si buta C yang kebetulan memegang ekornya, maka dia mengatakan gajah itu bagaikan tali tambang. Dari kisah si buta itu dapatlah diambil sebuah simpulan kecil bahwa jika kita mencoba untuk memahami Tuhan hanya atas dasar kegelapan dan kebodohan, maka nilai ketuhanan yang kita mampu jabarkan dalam kesadaran kita akan terpecah-pecah, tidak utuh, meski itu bukan sepenuhnya salah. Oleh orang bijak disarankan agar memahami konsep Tuhan itu hendaknya kita berbekal pengetahuan kesadaran Tuhan itu sendiri, bukan dengan ke-ego-an semata agar kita dianggap paling tahu tentang Tuhan.
            Sang awatara Budha pernah ditanya oleh para pengikitnya (murid) dengan pertanyaan “ Guru, apakah Tuhan itu ?”, sang guru Budha diam tanpa jawab, sementara sang murid jadi bingung oleh tingkah sang guru yang diam tanpa mengucapkan sepatah kata, kemudian sang murid kembali mengulang pertanyaan yang sama kepada sang guru. Karena tiada tahan maka sang guru bersabda “ alangkah bodohnya orang yang bertanya dan memberi jawaban tentang Tuhan”.
1
Dari dialog itu dapat ditarik setitik kesadaran bahwa sang awatara Budha tidak berusha untuk mengkosepkan Tuhan dalam bentuk materi(sekalipun dalam Kata), sebab Tuhan itu adalah yang “ADA”, sementara materi adalah yang “Diadakan”( Tuhan itu Absolut, materi itu Imanen), jadi setiap yang diadakan itu bukan absolut(langgeng), sementara Tuhan itu adalah yang langgeng. Memahami Tuhan bukan dengan konsep kecerdasan logika belaka, akan tetapi lewat pencerahan nurani (budhi) melalui jalur keyakinan dan percaya pada keberadaan yang langgeng pada diri sendiri yakni”Atma”, dan apabia kita sudah meyakini diri kita yang langgeng itu Atma sebagai yang absolut dan bukan badan, maka perlahan- lahan kita akan memiliki kesadaran yang mendalam akan keberadaan yang”Ada” dan bukan pada yang “Maya”. Ketahuilah bahwa segala bentuk ciptaan ini  yang dikenal sebagai materi semesta adalah tercipta dari “Ujud Tuhan Yang Maya”, sebab itu segala ciptaanNYA disebut benda maya. Ketika kita berusaha memahami konsep Tuhan dari yang Maya, maka kita akan bertemu dengan Tuhan yang Maya ( bayangan Tuhan). Pada tahap ini, mari kita coba lintaskan pikiran pada pertunjukan wayang kulit, ketika sang dalang memainkan wayang pada kelir , maka yang kita tonton adalah bayangan dari wayang itu, sedang yang memainkan wayang itu adalah ki dalang, nah disini kelir dan bayangan wayang adalah Maya, wayang sendiri adalah Materi keidupan dan yang berperan itu adalah ki dalang, pembantu dalang Rwa Bhineda( dua yang relativ; baik dan buruk) disini yang mana sebenarnya yang asli?, Ki Dalang sebagai personal God dan Atma pada si dalang unpersonal God, yang mana inti  filosipisnya adalah janganlah kita selalu bergelut pada bayangan dan kulit maya saja, akan tetapi lanjutkan kesadaran diri pada yang Uttama(paramaatma) dan jangan berhenti pada cerita-cerita Maya. Seorang tokoh sains yang terkemuka Albert Einstain pernah melontarkan pendapatnya bahwa Tuhan itu licik, tapi penuh kasih”. Pernyataan itu keluar mungkin karena Einstain dengan logikanya yang tinggi mencoba memahami Tuhan, akan tetapi tidak pernah sesuai dengan  nuraninya, sehingga keluar ucapan itu. Jadi dia tidak berusaha untuk mengkultuskan Tuhan dalam ujud materi(relativ), meski dia ahli dibidang teori relativitas dan gravitasi, karena diapun sadar Tuhan itu adalah yang Mutlak.
2

            “Imagination is more important then Knowladges”
Sampai disini apa yang dapat kita pahami akan Tuhan itu? Tiada lain adalah biarkanlah Tuhan itu tenang dalam keberadaannya, sementara bagi kita mari berusaha memahami Tuhan dalam Diam, mencari Tuhan dalam diri yang paling dalam”Atma” melalui jalan Meditasi, Samadhi dalam Yoga dan ketika kita telah sampai pada satu titik keabsolutan maka akan mekarlah sebuah mantra “ Aham Brahman Asmi”, sebagai mantra yang absolut, dan  Aku adalah Dia; Aku adalah Mereka dengan mantra “ Tat Wam Asi”adalah sebagai yang imanen.
Ketika kita telah memncapai kesadaran diri sebagai Atma, maka kita akan memahami Tuhan sebagai yang kecil tak terhingga dan yang besar tak terbatas. Sementara kesadaran kita hanya pada badan, maka pengertian dan pemahaman kita terhadap Tuhan hanya pada Materi yang terbatas dan maya. Semogalah tangga kesadaran kita dalam meniti jalan sepiritual menuju ke Kebijaksanaan dalam menggapai Pembebasan semakin jelang didepan serta nurani ke-Budha-an memberi terang perjalanan, yang pada akhinya cahya penerangan “Kedamaian”, Keabadian” menyelimuti Jiwa- Sanatana.
                                                             Suwung, 20.6.09

Dalem Sunya




TIRTAYATRA KE DALEM SUNIA

            Hari itu Minggu, kajeng kliwon, wuku Dukut, 6 juni 2010, perjalanan tirta yatra menuju Grya Dukuh Sakti Tengahing Pada di tegalalang. Setibanya kita di grya kurang pada pukul 16.30, setelah pamitan di mrajan grya, rombongan melanujutkan perjalanan menuju sebuah tempat yang namanya Pura Dalem Sunia . Dalam perjalanan kita melewati jalan pedesaan yang asri dengan kerindangan pepohonan dan suasana kehidupan masyarakatnya yang masih udik, sepertinya keadaan itu  sama dengan suasana Kuta di tahun 70-an, sepi, nyaman dan damai. Setelah melintasi jalan kurang lebih 7 km, rombongan parkir di depan Pura Puseh desa Tegalalang. Rombongan mulai menuruni jalan setapak yang keadaannya setengah bejek dan diikuti suasana yang sudah mulai gelap.
            Dengan beriringan dan penuh hati-hati, rombongan menapaki langkah demi langkah dengan penuh konsentrasi agar tidak terpeleset. Sesekali terdengar suara lolong anjing di depan. Dalam perjalanan yang penuh konsen itulah muncul pertanyaan dalam hati ini. Bagaimanakah suasana di pura Dalem sunia itu?, ada apakah gerangan di pura itu?. Tiada terasa kita telah menempuh perjalanan 3 km, meski dalam perjalanan itu ada yang jatuh terpeleset, kerena suasana makin gelap dalam semak-semak belukar. Lampu senterpun mulai dinyalakan, ada juga yang menggunakan nyala HP demi terhindar dari kegelapan dan binatang yang menekutkan atau takut akan terpeleset.
            Namun tiada terasa, rombongan sampai pada sebuah daerah lapang agak luas yang ditumbuhi padang ilalang  sudah diratakan. Persiapan persembahyanganpun mulai dipersiapkan. Banten pekeling, canang dan dupa sudah dinyalakan. Rombongan duduk dihadapan dua pelinggih yang terbuat dari pepohonan dan ditengah- tengahnya terdapat pohon jepun putih. Dengan dienter oleh pemengku ( Bli Wayan ) upakara dipersembahkan. Sementara saya , Netri dan Asih ada pada berisan duduk paling belakang. Pada saat itulahlah saya melakukan meditasi, dan tiba-tiba muncullah bentuk Kori Agung , begitu besar dan tinggi mirip bentuk wayang Kayonan dengan ukiran yang indah. Sayapun kasi tahu Asih dan Netri, bahwa didepan antara dua pelinggih dari pohon itu ada kori Sunia. Akhirnya saya ambil bunga canang, dengan konsentrasi mohon dibukakan Kori agung itu. Tepat pada saan itu terdenganrlah suara kentongan diseputaran tempat itu, seakan-akan suara mengetk pintu, akhirnya dari pandangan meditasi terlihat Kori terbuka. Seteruanya saya melanjutkankan meditasi menyusuri pintu itu masuk kedalam dan ternyata didalam daerah lapang itu terdapat jalan setapak, dengan di kanan-kiri terdapat telaga yang dihiasi  bunga teratai berwarna merah dan juga putih. Begitu indah suasananya…, setelah  itu saya meneruskan perjalanan bathin menyusuri jalan setapak itu. Di depan sana terlihat Kori Agung yang bentuknya mirip dengan kori agung pura Penyarikan-Kuta. Sampai disini saya tidak melanjutkan perjalanan, akan tetapi kembali pada kesadaran biasa, guna melakukan persembahyangan bersama. Setelah mendapat tirta, saya kembali mengheningkan pikiran, teranyata tempat sembahyang itu namanya Pura Praja Pati Sunia.



           

Setelah persembahyangan selesai, kita bangkit untuk melenjutkan perjalanan menuju Pura Dalem Sunia yang berada di depan kira-kira 50 meter. Kita bertiga berjalan diantara dua pelinggih dari pohon itu, sementara yang lainnya melintas disebelah kanannya. Sesampainya rombongan ditengan hutan yang lebat dan  gelap, setiap kita mencari posisi yang aman dan nyaman. Akan tetapi benyak dari mereka digigit semut, sehingga suasana menjadi penuh gelisah. Sementara saya duduk pada posisi paling belakang. Banten diaturkan diantara dua pohon besar, saya dengan tenang duduk meditasi. Dalam meditasi  itu terjadi dialog dari bathin dengan penuh pertanyaan dan jawaban seperti :
Tanya : Apakah Dalem itu..?
Jawab :  Sesuatu tempat yang ada di dalam diri yang paling dalam.
Tanya :  Apakah itu Sunia ?
Jawab : Suatu keadaan dimana tempatnya ditengah nurani,  yang dipenuhi dengan suara semesta.  bila kita mampu menyatukan suara itu menjadi suara AUM (OM), kemudian  akan muncul cahaya terang benderang dalam suasana sepi( Sunia ).
            Setelah menemukan jawaban, tiba-tiba saya dipercikan tirta, saya sadar. Ternyata dari tadi saya masuk jauh kedalam, sampai lupa rombongan melaksanakan persembahyangan bersama.  Setelah nunas tirta, tiba-tiba Bli Nyoman datang dan mengatakan bahwa dia menerima pesan Sunia untuk mencari buah Manas, kemudian cari inti tengah buah tersebut. Sayapun diajak Bli nyoman untuk mencari pohon Nanas, dengan menyalakan senter berputar –putar diseputaran tempat sembahyang, guna mendapatkan pohon nanas. Akan tetapi saya sadar bahwa Pohon Manas itu bukanlah pohon nanas secara nyata, akan tetapi dalam wujud pernyataan yang berkulit. Perlu kiranya dikupas maksud dan makna pesan itu. Seperti dialog yang saya alami sebelumnya itu. Setelah Bli Nyoman mengerti apa yang saya maksud , akhirnya niat mencari pohon Nanas dibatalkan. Kemudian setelah sungkem di antara kedua pohon besar itu, kita mohon pamit.  Ketika kita tinggalkan tempat, dalam jarak sepuluh langkah datanglah pemangku pura dalem Sunia yang bertugas di pura itu. Rombongan tetap meneruskan perjalanan untuk pulang.

Tirta Pingit



TIRTA YATRA KE  PURA
“TIRTA PINGIT “ BESAKIH

( Tilem, 9 Mei 2013 )

OM, Swastyastu,      
“OM Ano Badrah Kratawo Yanthu Wisvatah”
Baiklah kita awali dari pengertian “Tirta Yatra” yang terdiri dari dua kata, yaitu Tirta dan Yatra.  Tirta mengandung makna pilosofis Air Suci, sementara Yatra bermakna Perjalanan. Secara sederhana dapat diartikan bahwa Tirta Yatra adalah “Perjalanan Suci”.  Perjalanan yang dimaksudkan yaitu Napak Tilas jejak para suci yang telah duluan menemukan tempat yang  nyaman, damai mengandung energi kesucian. Di tempat tersebutlah beliau menemukan nilai kesadaran kesucian sehingga tempat itu dipakainya tempat meditasi. Biasanya tempat seperti itu ditancapkan sesuatu sebagai tonggak bahwa tempat tersebut memang mengandung energi spiritual kesucian. Demikian halnya tempat atau daerah yang dituju ini merupakan jejak Maha Yogi Markandya yang mendirikan Pura Besakih. Awalnya dari tempat yang bernama Tirta Pingit inilah beliau bertapa/meditasi / semadi untuk membuat konsep/model/design dari Pura Besakih. Dengan kemampuan meditasinya yang kuat serta dari kehendak Hyang Widhi, maka deisgn Pura Besakih dapat terwujud yaitu Konsep Asta Dala ( seperti kelopak Bunga Teratai) yang sarinya berkonotasi sebagi Padma Tiga, untuk penghayatan Bhur, Bwah, Swah dengan kekuatan energi dewatanya : Siwa,Sadha Siwa dan Parama Siwa.
            Kembali ke masalah Tirta Yatra, mengapa kita yang beragama Hindhu diharapkan melakukan Tirta Yatra? Itu tiada lain bermakna bahwa kita diharapkan selalu menyadari bahwa manusia itu pada dasarnya “SUCI”( karena manusia itu sejatinya Atma ). Namun karena kita sering lupa dan bahkan terlalu condong pada kehidupan duniawi, sering melupakan hakiki diri kita yang sejati,  maka salah satu jalan untuk kembali ke kesadaran suci yaitu dengan jalan Tirta Yatra ataupun Dharma Yatra.
Melaksanakan Tirta Yatra bukanlah sekedar datang ke tempat suci/Pura dengan membawa sesajen/banten kemudian sembahyang lalu pulang. Sepatutnya Tirta Yatra itu dikonsepkan dalam pikiran kita bahwa kita datang dan kembali membawa energi kesucian itu sendiri, dalam artian mereka yang datang mesti membawa nilai-nilai kesucian kemudian pulang dari Tirta Yatra bertambah Suci kembali. Bagai sebuah batrae yang lemah kemudian di charge kembali.
Sering menjadi perbincangan, bagaimana sikap laku kita dalam melaksanakan patirta yantran? Inilah yang perlu kita sedikit pahami sehingga kita tidak menjadi rugi menghabiskan waktu perjalanan dan tidak sedikitpun terjadi peningkatkan spiritual kesucian kala melakukan Tirta Yatra. Baiklah kita mulai dari penentuan hari baik melakukan Tirta Yatra, yaitu sebuah hari yang secara baik dan umum melakukan Tirta Yatra yakni : Purnama, Tilem, Anggar Kasih, atau hari Piodalan dari tempat suci yang dituju, ataupun hari-hari baik lainnya yang bersamaan dengan kesiapan mental kita untuk melakukannya. Kemudian diniatkan secara utuh, penuh kesadaran bahwa kita akan melaksanakan Tirta Yatra. Dengan menjaga pikiran kita tetap teguh dan yakin akan napak tilas perjalanan suci yang sudah kita rencanakan, jangan hendaknya hanya iseng belaka. Karena dengan cara kita yang iseng saja, maka kita tidak akan meraih menfaat apa-apa. Dalam perjalanan kita menuju tempat yang kita yakini itu, sebaiknya kita menjaga pikiran, perkataan dan perilaku selalu dalam koridor keheningan, kedamaian dan kesucian bathin. Jangan hendaknya berpikir negatif bila perlu kita lakukan Japa( misalnya mengulang-ulang kata”OM” atau OM Nama Siwa , atau OM Namo Budha, ataupun setiap tarikan napas kita ucapkan “SO” dan buang napas dengan “HAM” ) mungkin juga japa Gayatri Mantram sesuai dengan yang kita bisa dan nyaman lakukan. Kemudian sebisanya kita kendalikan perkataan kita dengan tidak berkata kasar, berkata kotor, bercerita yang tidak sepantasnya kita ceritakan. Selanjutnya prilaku perjalan yang kita lakukan dalam tindakan kaki yang penuh disadari, bukan berjalan serampangan. Setiap langkah kaki kiri kita sadari, demikian juga langkah yang kanan sadar penuh. Itu disebut Meditasi Jalan. Sesampainya di altar atau jaba tengah tempat suci/Pura, kita benar-benar konsentrasi dari masuk ke pura sampai dalam menyiapkan sarana persembahan. Tidak perlu grasa-grusu, lakukan semua dengan keheningan, keiklasan, kedamaian. Selanjutnya saat menaruh dan melakukan persembahan sesajen/banten iklaskan secara total bahwa itu persembahan, niat awal jangan mengharap surudannya akan kita ambil kembali, jangan takut ada salah satu jajan atau buah banten akan dimakan binatang, itu iklaskan karena sudah merupakan bentuk kemurnian sebuah persembahan. Inilah dasar melakukan Yadnya yang tepat. Karena yadnya itu berarti persembahan tanpa mengikat  dan mengharap apapun pada diri sendiri.
Selanjutnya setelah melakukan persembahan berupa ngaturn Canang atau Banten, maka carilah tempat duduk yang tenang, nyaman, aman, tanpa saling mengganggu. Disini sudah mulai Mona Brata(mengurangi pembicaraan, kalau bisa suara yang keluar hanya suara Sepi, Hening bagai suara genta sang wiku). Sebisanya lakukan keheningan diri dalam perenungan diri, kontemplasi atau meditasi. Mohonkan kepada yang menemukan tempat suci ini agar kita diijinkan untuk dapat menikmati kesucian seperti yang beliau rasakan saat beliau rasakan sejak awal ditemukannya tempat itu, sampai saat kini sebagai tempat suci.
Mungkin Doa yang sederhana ini dapat dipancarkan di tempat dimana kita lakukan Tirta Yatra yaitu :
OM, Hyang Widhi
Dengan cinta kasih hamba datang bersujud dikaki padmamu, terimalah doa kami yang sederhana ini : Semoga Hyang Widhi… Damai, Semoga Para Dewa… Damai, Semoga Guru-Guru Agung dan Para Nabi… damai, Semoga semua Leluhur… damai, Semoga semua Makhluk Hidup …damai dan Semoga Alam Jagat Semesta… damai,
Japakan berulang-ulang sesuai kemampuan“ OM Loka Samasta Sukino Bhawantu”
Setelah melakukan Doa perenungan dalam Meditasi, lanjutkan dengan tata cara persembahyangan Panca Sembah yang biasa dilakukan tiap persembahyangan. Seterusnya nunas Tirta dan Bija(benih kesucian Pikiran, benih kesucian Perkataan dan benih kesucian Prilaku). Inilah inti dari napak tilas perjalanan penuh kesadaran  yang sering dikenal dengan Tirta Yatra. Selanjutnya setelah kita mengakhiri persembahyangan, kita boleh mengambil tempat yang sesuai untuk kita istirahat dan berdiskusi tentang spiritual, dengan catatan tetap pada koridor dan tatanan keheningan dan kesucian dalam pilosofi Tri Kaya Pari Sudha, Sembari menikmati bekal yang kita telah sediakan. Semoga setiap perjalanan Tirta Yatra dapat mengembalikan nilai-nilai Kesucian dalam diri  kita masing-masing. Sehingga tubuh/badan dan roh itu menjadi tanah dan tempat suci (Our bodhy, Mind an Soul  is  our  holly Temple)
OM, Asato ma Sad Gamaya,
Tamasyo ma Jyotir Gamaya
Mrytyor ma Amrytham Gamaya.

Sabbe Satta Bhavantu sukitatta
OM, Santih, Santih,Santih, OM
                                                                                                Kuta, 4 Mei 2013
Oleh: I Nyoman Musna