1
Selasa, 25 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
NGALIH JUJUR
Jujur
Kemu mai nyeliksik
dini lan ditu kebitin
ngalih ane madan jujur
tusing masi tingalin
dija kaden mengkeb
aduh, sukil pesan alih
tolih ditu di kantor MPR / DPR
kantor Presiden, kantor Mentri
kantor Hakim / kantor Jaksa
kebitin ring kantor polisine
ring kantor bupati, walikota
kantor Camat lan kantor Lurah
kantor desa, bale banjar
nyantos ke sekolah sekolah
tur nyantos ring tengahing Pura
masi tusing tepuk ane madan jujur
Kakantenan...
jujur punika,
wantah ja mengkeb ring tungtung ati
tengahing rasa
yaning jujure punika terus mabur
gumine manadi baur tanpa sulur
kelangan rasa
kelangan sujati
dini lan ditu kebitin
ngalih ane madan jujur
tusing masi tingalin
dija kaden mengkeb
aduh, sukil pesan alih
tolih ditu di kantor MPR / DPR
kantor Presiden, kantor Mentri
kantor Hakim / kantor Jaksa
kebitin ring kantor polisine
ring kantor bupati, walikota
kantor Camat lan kantor Lurah
kantor desa, bale banjar
nyantos ke sekolah sekolah
tur nyantos ring tengahing Pura
masi tusing tepuk ane madan jujur
Kakantenan...
jujur punika,
wantah ja mengkeb ring tungtung ati
tengahing rasa
yaning jujure punika terus mabur
gumine manadi baur tanpa sulur
kelangan rasa
kelangan sujati
20.12.12
Minggu, 02 Februari 2014
Pencerahan Lewat Puisi
MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
Hampir
disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan
sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya
celotehan dari seseorang. Pertanyaan
yang paling sering keluar yaitu “
Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki
berupa kekayaan tidak akan pernah kita
bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa
muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama
datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka
yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu merupakan sebuah jalan menuju kesadaran
rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir
penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka
mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan
seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang
menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah
kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
Saking
seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun
mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di
iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan
dini /
lakar kija malih lantur pejalane
/ apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng
pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi /
anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu,
mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini /
kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau
kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk
menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata
digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara
hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
Mungkin puisi bali yang saya tulis itu
mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika.
Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah
kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah
diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang
datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?.
Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita
yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan
lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan
seterusnya.
Selanjutnya
puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang
hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat
lahiriah. Sebuah Puisi bali yang saya
beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah
ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine
masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja
tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen
ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine
tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu
ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//. Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan
mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari
isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit
sudah habis ditoleh/ kan tetapi belum
bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/
hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran
sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari
kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu
ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
Puisi
yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya
untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu
kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan
tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita
tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan
rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada
keseimbangan kebutuhan lahir dan batin.
Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan
dan kedamaian meluluh kedalam batin.
Bagi mereka yang telah mampu menjaga diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan
merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak
dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
Apabila
pertanyaan-pertanyaan kedalam diri
semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak
tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri)
seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane,
apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap
nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu
melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap
nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De
ngedoh teken ragane apang tusing doh
teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane
puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh
diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan
dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar
tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri
/ dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan
dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus
diikat oleh itu yang kotor.
Untaian
bait – bait syair diatas mengisyaratkan
pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang
Diri. Keterlupaan diri kepada diri yang
sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu,
jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan
tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang
bersifat kotor dan keruh tidak menempel
pada sang diri. Seperti sabda sang
tercerahkan Budha Gautama “ Kosong itu
berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut
dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri
sembari menyelam dalam diri yang sejati.
I
Nyoman Musna
God on Poem
TUHAN
Bila aku
melihatMu di batu cadas
Engkau
melukis diriMu disana
Bila aku
lihat di pepohonan itu
Engkau
tersenyum manis
dalam
warna kembang dan buah
Bila aku
melihat di pasir pantai
Engkau
berkilau putih kuning
Dalam
gelombang samudra
Engkau
berkilat cahya pelangi
Pada Rembulan
Engkau lembut
Pada mentari
Engkau terik
Pada bintang
Engkau cemerlang
Pada bumi
Engkau kokoh memberi
Pada goa Engkau
gelap melindungi
Pada gunung
Engkau kokoh kekar
Pada sungai
Engkau aliran pembersih
Pada danau
Engkau kesejukan
Pada langit
Engkau atap semesta kosong
Pada badan
Engkau Sel-sel
Pada nurani
Engkau Jiwa
Pada semesta
Engkau ternyata Jiwa Agung
Pada yang
terbatas
Engkau
tiada batas
Pada yang
tak ku mengerti
Engkau
pengertian
Pada yang
gelap,engkau penerang
Pada kebutaan
engkau pembimbing
Pada apa
Engkaupun Ada
Hanya engkau yang Ada
13.1.13
What Is A God?
“TUHAN” ITU APA DAN ADA
DIMANA ?
Where does God live?
Is there somewhere I can go to see Him,
to be with Him?
Begitu banyak tulisan yang
memasalahkan tentang keberadaan Tuhan, baik oleh para rohaniawan, tokoh agama,
intlektual bahkan masyarakat biasapun begitu greget membicarakan Tuhan. Ada
yang memasalahkan kata ganti nama Tuhan yaitu “HIS” atau “ITS”, ada mengatakan
Tuhan itu tak berujud( Acintya ), ada mengatakan berbentuk cahaya ( Aditya )
serta banyak lagi Nama dan Rupa Tuhan dikonotasikan kedalam konsep nyata agar
manusia dapat lebih mudah membayangkan keberdaan Tuhan.
Jika kita
sejenak merenung dan menerawangkan pikiran pada sebuah cerita tiga orang buta
yang sedang mengasumsikan pendapatnya pada
seekor gajah, si buta A yang memegang kaki gajah dan mengatakan gajah
itu seperti pilar raksasa, si buta B yang meraba telinga gajah mengatakan gajah
itu adalah nampar besar , sedang si buta C yang kebetulan memegang ekornya,
maka dia mengatakan gajah itu bagaikan tali tambang. Dari kisah si buta itu dapatlah
diambil sebuah simpulan kecil bahwa jika kita mencoba untuk memahami Tuhan
hanya atas dasar kegelapan dan kebodohan, maka nilai ketuhanan yang kita mampu
jabarkan dalam kesadaran kita akan terpecah-pecah, tidak utuh, meski itu bukan
sepenuhnya salah. Oleh orang bijak disarankan agar memahami konsep Tuhan itu
hendaknya kita berbekal pengetahuan kesadaran Tuhan itu sendiri, bukan dengan
ke-ego-an semata agar kita dianggap paling tahu tentang Tuhan.
Sang awatara Budha pernah ditanya
oleh para pengikitnya (murid) dengan pertanyaan “ Guru, apakah Tuhan itu ?”,
sang guru Budha “diam” tanpa jawab, sementara sang murid jadi bingung oleh
tingkah sang guru yang diam tanpa mengucapkan sepatah kata, kemudian sang murid
kembali mengulang pertanyaan yang sama kepada sang guru. Karena tiada tahan
maka sang guru bersabda “ alangkah bodohnya orang yang bertanya dan memberi
jawaban tentang Tuhan”.
1
Dari dialog itu dapat ditarik setitik
kesadaran bahwa sang awatara Budha tidak berusha untuk mengkosepkan Tuhan dalam
bentuk materi(sekalipun dalam Kata), sebab Tuhan itu adalah yang “ADA”,
sementara materi adalah yang “Diadakan”( Tuhan itu Absolut, materi itu Imanen),
jadi setiap yang diadakan itu bukan absolut(langgeng), sementara Tuhan itu
adalah yang langgeng. Memahami Tuhan bukan dengan konsep kecerdasan logika
belaka, akan tetapi lewat pencerahan nurani (budhi) melalui jalur keyakinan dan percaya pada keberadaan yang langgeng pada diri sendiri yakni”Atma”, dan apabia kita sudah meyakini
diri kita yang langgeng itu Atma sebagai yang absolut dan bukan badan, maka
perlahan- lahan kita akan memiliki kesadaran yang mendalam akan keberadaan yang”Ada” dan bukan pada yang “Maya”. Ketahuilah bahwa segala bentuk
ciptaan ini yang dikenal sebagai materi
semesta adalah tercipta dari “Ujud Tuhan
Yang Maya”, sebab itu segala
ciptaanNYA disebut benda maya. Ketika kita berusaha memahami konsep Tuhan dari
yang Maya, maka kita akan bertemu dengan Tuhan yang Maya ( bayangan Tuhan). Pada
tahap ini, mari kita coba lintaskan pikiran pada pertunjukan wayang kulit,
ketika sang dalang memainkan wayang pada kelir , maka yang kita tonton adalah
bayangan dari wayang itu, sedang yang memainkan wayang itu adalah ki dalang,
nah disini kelir dan bayangan wayang adalah Maya, wayang sendiri adalah Materi keidupan
dan yang berperan itu adalah ki dalang, pembantu dalang Rwa Bhineda( dua yang
relativ; baik dan buruk) disini yang mana sebenarnya yang asli?, Ki Dalang
sebagai personal God dan Atma pada si dalang unpersonal God, yang mana
inti filosipisnya adalah janganlah kita
selalu bergelut pada bayangan dan kulit maya saja, akan tetapi lanjutkan
kesadaran diri pada yang Uttama(paramaatma) dan jangan berhenti pada
cerita-cerita Maya. Seorang tokoh sains yang terkemuka Albert Einstain pernah melontarkan pendapatnya bahwa “Tuhan
itu licik, tapi penuh kasih”. Pernyataan itu keluar mungkin karena Einstain dengan logikanya
yang tinggi mencoba memahami Tuhan, akan tetapi tidak pernah sesuai dengan nuraninya, sehingga keluar ucapan itu. Jadi
dia tidak berusaha untuk mengkultuskan Tuhan dalam ujud materi(relativ), meski
dia ahli dibidang teori relativitas dan gravitasi, karena diapun sadar Tuhan
itu adalah yang Mutlak.
2
“Imagination is more important then Knowladges”
Sampai disini apa yang dapat kita pahami
akan Tuhan itu? Tiada lain adalah biarkanlah Tuhan itu tenang dalam
keberadaannya, sementara bagi kita mari berusaha memahami Tuhan dalam
Diam, mencari Tuhan dalam diri yang paling dalam”Atma” melalui jalan Meditasi, Samadhi dalam Yoga dan ketika kita
telah sampai pada satu titik keabsolutan maka akan mekarlah sebuah mantra “ Aham Brahman Asmi”, sebagai mantra
yang absolut, dan Aku adalah Dia; Aku adalah Mereka
dengan mantra “ Tat Wam Asi”adalah
sebagai yang imanen.
Ketika kita telah memncapai kesadaran diri
sebagai Atma, maka kita akan memahami Tuhan sebagai yang kecil tak terhingga
dan yang besar tak terbatas. Sementara kesadaran kita hanya pada badan, maka
pengertian dan pemahaman kita terhadap Tuhan hanya pada Materi yang terbatas
dan maya. Semogalah tangga kesadaran kita dalam meniti jalan sepiritual menuju
ke Kebijaksanaan dalam menggapai Pembebasan semakin jelang didepan serta nurani
ke-Budha-an memberi terang perjalanan, yang pada akhinya cahya penerangan “Kedamaian”, Keabadian” menyelimuti Jiwa-
Sanatana.
Suwung,
20.6.09
Dalem Sunya
TIRTAYATRA KE DALEM SUNIA
Hari
itu Minggu, kajeng kliwon, wuku Dukut, 6 juni 2010, perjalanan tirta yatra
menuju Grya Dukuh Sakti Tengahing Pada di tegalalang. Setibanya kita di grya
kurang pada pukul 16.30, setelah pamitan di mrajan grya, rombongan melanujutkan
perjalanan menuju sebuah tempat yang namanya Pura Dalem Sunia . Dalam perjalanan kita melewati jalan pedesaan
yang asri dengan kerindangan pepohonan dan suasana kehidupan masyarakatnya yang
masih udik, sepertinya keadaan itu sama
dengan suasana Kuta di tahun 70-an, sepi, nyaman dan damai. Setelah melintasi
jalan kurang lebih 7 km, rombongan parkir di depan Pura Puseh desa Tegalalang.
Rombongan mulai menuruni jalan setapak yang keadaannya setengah bejek dan
diikuti suasana yang sudah mulai gelap.
Dengan
beriringan dan penuh hati-hati, rombongan menapaki langkah demi langkah dengan
penuh konsentrasi agar tidak terpeleset. Sesekali terdengar suara lolong anjing
di depan. Dalam perjalanan yang penuh konsen itulah muncul pertanyaan dalam
hati ini. Bagaimanakah suasana di pura Dalem sunia itu?, ada apakah gerangan di
pura itu?. Tiada terasa kita telah menempuh perjalanan 3 km, meski dalam
perjalanan itu ada yang jatuh terpeleset, kerena suasana makin gelap dalam
semak-semak belukar. Lampu senterpun mulai dinyalakan, ada juga yang
menggunakan nyala HP demi terhindar dari kegelapan dan binatang yang menekutkan
atau takut akan terpeleset.
Namun
tiada terasa, rombongan sampai pada sebuah daerah lapang agak luas yang
ditumbuhi padang
ilalang sudah diratakan. Persiapan
persembahyanganpun mulai dipersiapkan. Banten pekeling, canang dan dupa sudah
dinyalakan. Rombongan duduk dihadapan dua pelinggih yang terbuat dari pepohonan
dan ditengah- tengahnya terdapat pohon jepun putih. Dengan dienter oleh
pemengku ( Bli Wayan ) upakara dipersembahkan. Sementara saya , Netri dan Asih ada
pada berisan duduk paling belakang. Pada saat itulahlah saya melakukan
meditasi, dan tiba-tiba muncullah bentuk Kori Agung , begitu besar dan tinggi
mirip bentuk wayang Kayonan dengan ukiran yang indah. Sayapun kasi tahu Asih
dan Netri, bahwa didepan antara dua pelinggih dari pohon itu ada kori Sunia.
Akhirnya saya ambil bunga canang, dengan konsentrasi mohon dibukakan Kori agung
itu. Tepat pada saan itu terdenganrlah suara kentongan diseputaran tempat itu,
seakan-akan suara mengetk pintu, akhirnya dari pandangan meditasi terlihat Kori
terbuka. Seteruanya saya melanjutkankan meditasi menyusuri pintu itu masuk
kedalam dan ternyata didalam daerah lapang itu terdapat jalan setapak, dengan di
kanan-kiri terdapat telaga yang dihiasi
bunga teratai berwarna merah dan juga putih. Begitu indah suasananya…,
setelah itu saya meneruskan perjalanan
bathin menyusuri jalan setapak itu. Di depan sana terlihat Kori Agung yang bentuknya mirip
dengan kori agung pura Penyarikan-Kuta. Sampai disini saya tidak melanjutkan
perjalanan, akan tetapi kembali pada kesadaran biasa, guna melakukan
persembahyangan bersama. Setelah mendapat tirta, saya kembali mengheningkan
pikiran, teranyata tempat sembahyang itu namanya Pura Praja Pati Sunia.
Setelah
persembahyangan selesai, kita bangkit untuk melenjutkan perjalanan menuju Pura
Dalem Sunia yang berada di depan kira-kira 50 meter. Kita bertiga berjalan
diantara dua pelinggih dari pohon itu, sementara yang lainnya melintas
disebelah kanannya. Sesampainya rombongan ditengan hutan yang lebat dan gelap, setiap kita mencari posisi yang aman
dan nyaman. Akan tetapi benyak dari mereka digigit semut, sehingga suasana
menjadi penuh gelisah. Sementara saya duduk pada posisi paling belakang. Banten
diaturkan diantara dua pohon besar, saya dengan tenang duduk meditasi. Dalam
meditasi itu terjadi dialog dari bathin
dengan penuh pertanyaan dan jawaban seperti :
Tanya : Apakah
Dalem itu..?
Jawab : Sesuatu tempat yang ada di dalam diri yang
paling dalam.
Tanya : Apakah itu Sunia ?
Jawab : Suatu keadaan dimana tempatnya ditengah nurani, yang dipenuhi dengan suara semesta. bila kita mampu menyatukan suara itu menjadi
suara AUM (OM), kemudian akan muncul cahaya terang benderang dalam
suasana sepi( Sunia ).
Setelah
menemukan jawaban, tiba-tiba saya dipercikan tirta, saya sadar. Ternyata dari
tadi saya masuk jauh kedalam, sampai lupa rombongan melaksanakan
persembahyangan bersama. Setelah nunas
tirta, tiba-tiba Bli Nyoman datang dan mengatakan bahwa dia menerima pesan
Sunia untuk mencari buah Manas, kemudian cari inti tengah buah tersebut.
Sayapun diajak Bli nyoman untuk mencari pohon Nanas, dengan menyalakan senter
berputar –putar diseputaran tempat sembahyang, guna mendapatkan pohon nanas.
Akan tetapi saya sadar bahwa Pohon Manas itu bukanlah pohon nanas secara nyata,
akan tetapi dalam wujud pernyataan yang berkulit. Perlu kiranya dikupas maksud
dan makna pesan itu. Seperti dialog yang saya alami sebelumnya itu. Setelah Bli
Nyoman mengerti apa yang saya maksud , akhirnya niat mencari pohon Nanas
dibatalkan. Kemudian setelah sungkem di antara kedua pohon besar itu, kita
mohon pamit. Ketika kita tinggalkan
tempat, dalam jarak sepuluh langkah datanglah pemangku pura dalem Sunia yang bertugas
di pura itu. Rombongan tetap meneruskan perjalanan untuk pulang.
Tirta Pingit
TIRTA YATRA KE PURA
“TIRTA PINGIT “ BESAKIH
( Tilem, 9 Mei 2013 )
OM, Swastyastu,
“OM
Ano Badrah Kratawo Yanthu Wisvatah”
Baiklah kita awali dari pengertian
“Tirta Yatra” yang terdiri dari dua kata, yaitu Tirta dan Yatra. Tirta
mengandung makna pilosofis Air Suci,
sementara Yatra bermakna Perjalanan.
Secara sederhana dapat diartikan bahwa Tirta
Yatra adalah “Perjalanan Suci”. Perjalanan yang dimaksudkan yaitu Napak Tilas
jejak para suci yang telah duluan menemukan tempat yang nyaman, damai mengandung energi kesucian. Di
tempat tersebutlah beliau menemukan nilai kesadaran kesucian sehingga tempat
itu dipakainya tempat meditasi. Biasanya tempat seperti itu ditancapkan sesuatu
sebagai tonggak bahwa tempat tersebut memang mengandung energi spiritual kesucian.
Demikian halnya tempat atau daerah yang dituju ini merupakan jejak Maha Yogi
Markandya yang mendirikan Pura Besakih. Awalnya dari tempat yang bernama Tirta
Pingit inilah beliau bertapa/meditasi / semadi untuk membuat
konsep/model/design dari Pura Besakih. Dengan kemampuan meditasinya yang kuat
serta dari kehendak Hyang Widhi, maka deisgn Pura Besakih dapat terwujud yaitu
Konsep Asta Dala ( seperti kelopak Bunga Teratai) yang sarinya berkonotasi
sebagi Padma Tiga, untuk penghayatan Bhur,
Bwah, Swah dengan kekuatan energi dewatanya : Siwa,Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Kembali ke masalah
Tirta Yatra, mengapa kita yang beragama Hindhu diharapkan melakukan Tirta
Yatra? Itu tiada lain bermakna bahwa kita diharapkan selalu menyadari bahwa
manusia itu pada dasarnya “SUCI”( karena
manusia itu sejatinya Atma ). Namun karena kita sering lupa dan bahkan
terlalu condong pada kehidupan duniawi, sering melupakan hakiki diri kita yang
sejati, maka salah satu jalan untuk
kembali ke kesadaran suci yaitu dengan jalan Tirta Yatra ataupun Dharma
Yatra.
Melaksanakan Tirta Yatra bukanlah
sekedar datang ke tempat suci/Pura dengan membawa sesajen/banten kemudian
sembahyang lalu pulang. Sepatutnya Tirta Yatra itu dikonsepkan dalam pikiran
kita bahwa kita datang dan kembali membawa energi kesucian itu sendiri, dalam
artian mereka yang datang mesti membawa nilai-nilai kesucian kemudian pulang
dari Tirta Yatra bertambah Suci kembali. Bagai sebuah batrae yang lemah
kemudian di charge kembali.
Sering menjadi perbincangan,
bagaimana sikap laku kita dalam melaksanakan patirta yantran? Inilah yang perlu
kita sedikit pahami sehingga kita tidak menjadi rugi menghabiskan waktu
perjalanan dan tidak sedikitpun terjadi peningkatkan spiritual kesucian kala
melakukan Tirta Yatra. Baiklah kita mulai dari penentuan hari baik melakukan
Tirta Yatra, yaitu sebuah hari yang secara baik dan umum melakukan Tirta Yatra
yakni : Purnama, Tilem, Anggar Kasih, atau hari Piodalan dari tempat suci yang
dituju, ataupun hari-hari baik lainnya yang bersamaan dengan kesiapan mental
kita untuk melakukannya. Kemudian diniatkan secara utuh, penuh kesadaran bahwa
kita akan melaksanakan Tirta Yatra. Dengan menjaga pikiran kita tetap teguh dan
yakin akan napak tilas perjalanan suci yang sudah kita rencanakan, jangan hendaknya
hanya iseng belaka. Karena dengan cara kita yang iseng saja, maka kita tidak
akan meraih menfaat apa-apa. Dalam perjalanan kita menuju tempat yang kita
yakini itu, sebaiknya kita menjaga pikiran, perkataan dan perilaku selalu dalam
koridor keheningan, kedamaian dan kesucian bathin. Jangan hendaknya berpikir
negatif bila perlu kita lakukan Japa(
misalnya mengulang-ulang kata”OM” atau OM Nama Siwa , atau OM
Namo Budha, ataupun setiap tarikan napas kita ucapkan “SO” dan buang napas
dengan “HAM” ) mungkin juga japa Gayatri Mantram sesuai dengan yang kita bisa
dan nyaman lakukan. Kemudian sebisanya kita kendalikan perkataan kita dengan
tidak berkata kasar, berkata kotor, bercerita yang tidak sepantasnya kita
ceritakan. Selanjutnya prilaku perjalan yang kita lakukan dalam tindakan kaki
yang penuh disadari, bukan berjalan serampangan. Setiap langkah kaki kiri kita
sadari, demikian juga langkah yang kanan sadar penuh. Itu disebut Meditasi
Jalan. Sesampainya di altar atau jaba tengah tempat suci/Pura, kita benar-benar
konsentrasi dari masuk ke pura sampai dalam menyiapkan sarana persembahan.
Tidak perlu grasa-grusu, lakukan semua dengan keheningan, keiklasan, kedamaian.
Selanjutnya saat menaruh dan melakukan persembahan sesajen/banten iklaskan
secara total bahwa itu persembahan, niat awal jangan mengharap surudannya akan
kita ambil kembali, jangan takut ada salah satu jajan atau buah banten akan
dimakan binatang, itu iklaskan karena sudah merupakan bentuk kemurnian sebuah
persembahan. Inilah dasar melakukan Yadnya
yang tepat. Karena yadnya itu berarti persembahan tanpa mengikat dan mengharap apapun pada diri sendiri.
Selanjutnya setelah melakukan
persembahan berupa ngaturn Canang atau Banten, maka carilah tempat duduk yang
tenang, nyaman, aman, tanpa saling mengganggu. Disini sudah mulai Mona
Brata(mengurangi pembicaraan, kalau bisa suara yang keluar hanya suara Sepi,
Hening bagai suara genta sang wiku). Sebisanya lakukan keheningan diri dalam
perenungan diri, kontemplasi atau meditasi. Mohonkan kepada yang menemukan tempat
suci ini agar kita diijinkan untuk dapat menikmati kesucian seperti yang beliau
rasakan saat beliau rasakan sejak awal ditemukannya tempat itu, sampai saat
kini sebagai tempat suci.
Mungkin Doa yang sederhana ini
dapat dipancarkan di tempat dimana kita lakukan Tirta Yatra yaitu :
OM, Hyang Widhi
Dengan cinta kasih hamba datang bersujud dikaki padmamu, terimalah doa
kami yang sederhana ini : Semoga Hyang Widhi… Damai, Semoga Para Dewa… Damai,
Semoga Guru-Guru Agung dan Para Nabi… damai, Semoga semua Leluhur… damai,
Semoga semua Makhluk Hidup …damai dan Semoga Alam Jagat Semesta… damai,
Japakan berulang-ulang sesuai
kemampuan“ OM
Loka Samasta Sukino Bhawantu”
Setelah melakukan Doa perenungan
dalam Meditasi, lanjutkan dengan tata cara persembahyangan Panca Sembah yang
biasa dilakukan tiap persembahyangan. Seterusnya nunas Tirta dan Bija(benih
kesucian Pikiran, benih kesucian Perkataan dan benih kesucian Prilaku). Inilah
inti dari napak tilas perjalanan penuh kesadaran yang sering dikenal dengan Tirta Yatra. Selanjutnya setelah kita
mengakhiri persembahyangan, kita boleh mengambil tempat yang sesuai untuk kita
istirahat dan berdiskusi tentang spiritual, dengan catatan tetap pada koridor
dan tatanan keheningan dan kesucian dalam pilosofi Tri Kaya Pari Sudha, Sembari menikmati bekal yang kita telah
sediakan. Semoga setiap perjalanan Tirta Yatra dapat mengembalikan nilai-nilai
Kesucian dalam diri kita masing-masing.
Sehingga tubuh/badan dan roh itu menjadi tanah dan tempat suci (Our bodhy, Mind
an Soul is our holly Temple)
OM, Asato ma Sad Gamaya,
Tamasyo ma Jyotir Gamaya
Mrytyor ma Amrytham Gamaya.
Sabbe Satta Bhavantu sukitatta
OM, Santih, Santih,Santih, OM
Kuta,
4 Mei 2013
Oleh: I Nyoman Musna
Langganan:
Postingan (Atom)