Selasa, 25 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
NGALIH JUJUR
Jujur
Kemu mai nyeliksik
dini lan ditu kebitin
ngalih ane madan jujur
tusing masi tingalin
dija kaden mengkeb
aduh, sukil pesan alih
tolih ditu di kantor MPR / DPR
kantor Presiden, kantor Mentri
kantor Hakim / kantor Jaksa
kebitin ring kantor polisine
ring kantor bupati, walikota
kantor Camat lan kantor Lurah
kantor desa, bale banjar
nyantos ke sekolah sekolah
tur nyantos ring tengahing Pura
masi tusing tepuk ane madan jujur
Kakantenan...
jujur punika,
wantah ja mengkeb ring tungtung ati
tengahing rasa
yaning jujure punika terus mabur
gumine manadi baur tanpa sulur
kelangan rasa
kelangan sujati
dini lan ditu kebitin
ngalih ane madan jujur
tusing masi tingalin
dija kaden mengkeb
aduh, sukil pesan alih
tolih ditu di kantor MPR / DPR
kantor Presiden, kantor Mentri
kantor Hakim / kantor Jaksa
kebitin ring kantor polisine
ring kantor bupati, walikota
kantor Camat lan kantor Lurah
kantor desa, bale banjar
nyantos ke sekolah sekolah
tur nyantos ring tengahing Pura
masi tusing tepuk ane madan jujur
Kakantenan...
jujur punika,
wantah ja mengkeb ring tungtung ati
tengahing rasa
yaning jujure punika terus mabur
gumine manadi baur tanpa sulur
kelangan rasa
kelangan sujati
20.12.12
Minggu, 02 Februari 2014
Pencerahan Lewat Puisi
MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
Hampir
disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan
sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya
celotehan dari seseorang. Pertanyaan
yang paling sering keluar yaitu “
Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki
berupa kekayaan tidak akan pernah kita
bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa
muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama
datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka
yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu merupakan sebuah jalan menuju kesadaran
rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir
penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka
mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan
seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang
menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah
kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
Saking
seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun
mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di
iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan
dini /
lakar kija malih lantur pejalane
/ apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng
pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi /
anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu,
mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini /
kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau
kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk
menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata
digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara
hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
Mungkin puisi bali yang saya tulis itu
mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika.
Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah
kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah
diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang
datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?.
Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita
yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan
lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan
seterusnya.
Selanjutnya
puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang
hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat
lahiriah. Sebuah Puisi bali yang saya
beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah
ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine
masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja
tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen
ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine
tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu
ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//. Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan
mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari
isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit
sudah habis ditoleh/ kan tetapi belum
bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/
hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran
sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari
kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu
ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
Puisi
yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya
untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu
kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan
tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita
tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan
rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada
keseimbangan kebutuhan lahir dan batin.
Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan
dan kedamaian meluluh kedalam batin.
Bagi mereka yang telah mampu menjaga diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan
merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak
dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
Apabila
pertanyaan-pertanyaan kedalam diri
semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak
tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri)
seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane,
apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap
nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu
melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap
nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De
ngedoh teken ragane apang tusing doh
teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane
puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh
diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan
dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar
tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri
/ dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan
dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus
diikat oleh itu yang kotor.
Untaian
bait – bait syair diatas mengisyaratkan
pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang
Diri. Keterlupaan diri kepada diri yang
sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu,
jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan
tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang
bersifat kotor dan keruh tidak menempel
pada sang diri. Seperti sabda sang
tercerahkan Budha Gautama “ Kosong itu
berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut
dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri
sembari menyelam dalam diri yang sejati.
I
Nyoman Musna
God on Poem
TUHAN
Bila aku
melihatMu di batu cadas
Engkau
melukis diriMu disana
Bila aku
lihat di pepohonan itu
Engkau
tersenyum manis
dalam
warna kembang dan buah
Bila aku
melihat di pasir pantai
Engkau
berkilau putih kuning
Dalam
gelombang samudra
Engkau
berkilat cahya pelangi
Pada Rembulan
Engkau lembut
Pada mentari
Engkau terik
Pada bintang
Engkau cemerlang
Pada bumi
Engkau kokoh memberi
Pada goa Engkau
gelap melindungi
Pada gunung
Engkau kokoh kekar
Pada sungai
Engkau aliran pembersih
Pada danau
Engkau kesejukan
Pada langit
Engkau atap semesta kosong
Pada badan
Engkau Sel-sel
Pada nurani
Engkau Jiwa
Pada semesta
Engkau ternyata Jiwa Agung
Pada yang
terbatas
Engkau
tiada batas
Pada yang
tak ku mengerti
Engkau
pengertian
Pada yang
gelap,engkau penerang
Pada kebutaan
engkau pembimbing
Pada apa
Engkaupun Ada
Hanya engkau yang Ada
13.1.13
What Is A God?
“TUHAN” ITU APA DAN ADA
DIMANA ?
Where does God live?
Is there somewhere I can go to see Him,
to be with Him?
Begitu banyak tulisan yang
memasalahkan tentang keberadaan Tuhan, baik oleh para rohaniawan, tokoh agama,
intlektual bahkan masyarakat biasapun begitu greget membicarakan Tuhan. Ada
yang memasalahkan kata ganti nama Tuhan yaitu “HIS” atau “ITS”, ada mengatakan
Tuhan itu tak berujud( Acintya ), ada mengatakan berbentuk cahaya ( Aditya )
serta banyak lagi Nama dan Rupa Tuhan dikonotasikan kedalam konsep nyata agar
manusia dapat lebih mudah membayangkan keberdaan Tuhan.
Jika kita
sejenak merenung dan menerawangkan pikiran pada sebuah cerita tiga orang buta
yang sedang mengasumsikan pendapatnya pada
seekor gajah, si buta A yang memegang kaki gajah dan mengatakan gajah
itu seperti pilar raksasa, si buta B yang meraba telinga gajah mengatakan gajah
itu adalah nampar besar , sedang si buta C yang kebetulan memegang ekornya,
maka dia mengatakan gajah itu bagaikan tali tambang. Dari kisah si buta itu dapatlah
diambil sebuah simpulan kecil bahwa jika kita mencoba untuk memahami Tuhan
hanya atas dasar kegelapan dan kebodohan, maka nilai ketuhanan yang kita mampu
jabarkan dalam kesadaran kita akan terpecah-pecah, tidak utuh, meski itu bukan
sepenuhnya salah. Oleh orang bijak disarankan agar memahami konsep Tuhan itu
hendaknya kita berbekal pengetahuan kesadaran Tuhan itu sendiri, bukan dengan
ke-ego-an semata agar kita dianggap paling tahu tentang Tuhan.
Sang awatara Budha pernah ditanya
oleh para pengikitnya (murid) dengan pertanyaan “ Guru, apakah Tuhan itu ?”,
sang guru Budha “diam” tanpa jawab, sementara sang murid jadi bingung oleh
tingkah sang guru yang diam tanpa mengucapkan sepatah kata, kemudian sang murid
kembali mengulang pertanyaan yang sama kepada sang guru. Karena tiada tahan
maka sang guru bersabda “ alangkah bodohnya orang yang bertanya dan memberi
jawaban tentang Tuhan”.
1
Dari dialog itu dapat ditarik setitik
kesadaran bahwa sang awatara Budha tidak berusha untuk mengkosepkan Tuhan dalam
bentuk materi(sekalipun dalam Kata), sebab Tuhan itu adalah yang “ADA”,
sementara materi adalah yang “Diadakan”( Tuhan itu Absolut, materi itu Imanen),
jadi setiap yang diadakan itu bukan absolut(langgeng), sementara Tuhan itu
adalah yang langgeng. Memahami Tuhan bukan dengan konsep kecerdasan logika
belaka, akan tetapi lewat pencerahan nurani (budhi) melalui jalur keyakinan dan percaya pada keberadaan yang langgeng pada diri sendiri yakni”Atma”, dan apabia kita sudah meyakini
diri kita yang langgeng itu Atma sebagai yang absolut dan bukan badan, maka
perlahan- lahan kita akan memiliki kesadaran yang mendalam akan keberadaan yang”Ada” dan bukan pada yang “Maya”. Ketahuilah bahwa segala bentuk
ciptaan ini yang dikenal sebagai materi
semesta adalah tercipta dari “Ujud Tuhan
Yang Maya”, sebab itu segala
ciptaanNYA disebut benda maya. Ketika kita berusaha memahami konsep Tuhan dari
yang Maya, maka kita akan bertemu dengan Tuhan yang Maya ( bayangan Tuhan). Pada
tahap ini, mari kita coba lintaskan pikiran pada pertunjukan wayang kulit,
ketika sang dalang memainkan wayang pada kelir , maka yang kita tonton adalah
bayangan dari wayang itu, sedang yang memainkan wayang itu adalah ki dalang,
nah disini kelir dan bayangan wayang adalah Maya, wayang sendiri adalah Materi keidupan
dan yang berperan itu adalah ki dalang, pembantu dalang Rwa Bhineda( dua yang
relativ; baik dan buruk) disini yang mana sebenarnya yang asli?, Ki Dalang
sebagai personal God dan Atma pada si dalang unpersonal God, yang mana
inti filosipisnya adalah janganlah kita
selalu bergelut pada bayangan dan kulit maya saja, akan tetapi lanjutkan
kesadaran diri pada yang Uttama(paramaatma) dan jangan berhenti pada
cerita-cerita Maya. Seorang tokoh sains yang terkemuka Albert Einstain pernah melontarkan pendapatnya bahwa “Tuhan
itu licik, tapi penuh kasih”. Pernyataan itu keluar mungkin karena Einstain dengan logikanya
yang tinggi mencoba memahami Tuhan, akan tetapi tidak pernah sesuai dengan nuraninya, sehingga keluar ucapan itu. Jadi
dia tidak berusaha untuk mengkultuskan Tuhan dalam ujud materi(relativ), meski
dia ahli dibidang teori relativitas dan gravitasi, karena diapun sadar Tuhan
itu adalah yang Mutlak.
2
“Imagination is more important then Knowladges”
Sampai disini apa yang dapat kita pahami
akan Tuhan itu? Tiada lain adalah biarkanlah Tuhan itu tenang dalam
keberadaannya, sementara bagi kita mari berusaha memahami Tuhan dalam
Diam, mencari Tuhan dalam diri yang paling dalam”Atma” melalui jalan Meditasi, Samadhi dalam Yoga dan ketika kita
telah sampai pada satu titik keabsolutan maka akan mekarlah sebuah mantra “ Aham Brahman Asmi”, sebagai mantra
yang absolut, dan Aku adalah Dia; Aku adalah Mereka
dengan mantra “ Tat Wam Asi”adalah
sebagai yang imanen.
Ketika kita telah memncapai kesadaran diri
sebagai Atma, maka kita akan memahami Tuhan sebagai yang kecil tak terhingga
dan yang besar tak terbatas. Sementara kesadaran kita hanya pada badan, maka
pengertian dan pemahaman kita terhadap Tuhan hanya pada Materi yang terbatas
dan maya. Semogalah tangga kesadaran kita dalam meniti jalan sepiritual menuju
ke Kebijaksanaan dalam menggapai Pembebasan semakin jelang didepan serta nurani
ke-Budha-an memberi terang perjalanan, yang pada akhinya cahya penerangan “Kedamaian”, Keabadian” menyelimuti Jiwa-
Sanatana.
Suwung,
20.6.09
Dalem Sunya
TIRTAYATRA KE DALEM SUNIA
Hari
itu Minggu, kajeng kliwon, wuku Dukut, 6 juni 2010, perjalanan tirta yatra
menuju Grya Dukuh Sakti Tengahing Pada di tegalalang. Setibanya kita di grya
kurang pada pukul 16.30, setelah pamitan di mrajan grya, rombongan melanujutkan
perjalanan menuju sebuah tempat yang namanya Pura Dalem Sunia . Dalam perjalanan kita melewati jalan pedesaan
yang asri dengan kerindangan pepohonan dan suasana kehidupan masyarakatnya yang
masih udik, sepertinya keadaan itu sama
dengan suasana Kuta di tahun 70-an, sepi, nyaman dan damai. Setelah melintasi
jalan kurang lebih 7 km, rombongan parkir di depan Pura Puseh desa Tegalalang.
Rombongan mulai menuruni jalan setapak yang keadaannya setengah bejek dan
diikuti suasana yang sudah mulai gelap.
Dengan
beriringan dan penuh hati-hati, rombongan menapaki langkah demi langkah dengan
penuh konsentrasi agar tidak terpeleset. Sesekali terdengar suara lolong anjing
di depan. Dalam perjalanan yang penuh konsen itulah muncul pertanyaan dalam
hati ini. Bagaimanakah suasana di pura Dalem sunia itu?, ada apakah gerangan di
pura itu?. Tiada terasa kita telah menempuh perjalanan 3 km, meski dalam
perjalanan itu ada yang jatuh terpeleset, kerena suasana makin gelap dalam
semak-semak belukar. Lampu senterpun mulai dinyalakan, ada juga yang
menggunakan nyala HP demi terhindar dari kegelapan dan binatang yang menekutkan
atau takut akan terpeleset.
Namun
tiada terasa, rombongan sampai pada sebuah daerah lapang agak luas yang
ditumbuhi padang
ilalang sudah diratakan. Persiapan
persembahyanganpun mulai dipersiapkan. Banten pekeling, canang dan dupa sudah
dinyalakan. Rombongan duduk dihadapan dua pelinggih yang terbuat dari pepohonan
dan ditengah- tengahnya terdapat pohon jepun putih. Dengan dienter oleh
pemengku ( Bli Wayan ) upakara dipersembahkan. Sementara saya , Netri dan Asih ada
pada berisan duduk paling belakang. Pada saat itulahlah saya melakukan
meditasi, dan tiba-tiba muncullah bentuk Kori Agung , begitu besar dan tinggi
mirip bentuk wayang Kayonan dengan ukiran yang indah. Sayapun kasi tahu Asih
dan Netri, bahwa didepan antara dua pelinggih dari pohon itu ada kori Sunia.
Akhirnya saya ambil bunga canang, dengan konsentrasi mohon dibukakan Kori agung
itu. Tepat pada saan itu terdenganrlah suara kentongan diseputaran tempat itu,
seakan-akan suara mengetk pintu, akhirnya dari pandangan meditasi terlihat Kori
terbuka. Seteruanya saya melanjutkankan meditasi menyusuri pintu itu masuk
kedalam dan ternyata didalam daerah lapang itu terdapat jalan setapak, dengan di
kanan-kiri terdapat telaga yang dihiasi
bunga teratai berwarna merah dan juga putih. Begitu indah suasananya…,
setelah itu saya meneruskan perjalanan
bathin menyusuri jalan setapak itu. Di depan sana terlihat Kori Agung yang bentuknya mirip
dengan kori agung pura Penyarikan-Kuta. Sampai disini saya tidak melanjutkan
perjalanan, akan tetapi kembali pada kesadaran biasa, guna melakukan
persembahyangan bersama. Setelah mendapat tirta, saya kembali mengheningkan
pikiran, teranyata tempat sembahyang itu namanya Pura Praja Pati Sunia.
Setelah
persembahyangan selesai, kita bangkit untuk melenjutkan perjalanan menuju Pura
Dalem Sunia yang berada di depan kira-kira 50 meter. Kita bertiga berjalan
diantara dua pelinggih dari pohon itu, sementara yang lainnya melintas
disebelah kanannya. Sesampainya rombongan ditengan hutan yang lebat dan gelap, setiap kita mencari posisi yang aman
dan nyaman. Akan tetapi benyak dari mereka digigit semut, sehingga suasana
menjadi penuh gelisah. Sementara saya duduk pada posisi paling belakang. Banten
diaturkan diantara dua pohon besar, saya dengan tenang duduk meditasi. Dalam
meditasi itu terjadi dialog dari bathin
dengan penuh pertanyaan dan jawaban seperti :
Tanya : Apakah
Dalem itu..?
Jawab : Sesuatu tempat yang ada di dalam diri yang
paling dalam.
Tanya : Apakah itu Sunia ?
Jawab : Suatu keadaan dimana tempatnya ditengah nurani, yang dipenuhi dengan suara semesta. bila kita mampu menyatukan suara itu menjadi
suara AUM (OM), kemudian akan muncul cahaya terang benderang dalam
suasana sepi( Sunia ).
Setelah
menemukan jawaban, tiba-tiba saya dipercikan tirta, saya sadar. Ternyata dari
tadi saya masuk jauh kedalam, sampai lupa rombongan melaksanakan
persembahyangan bersama. Setelah nunas
tirta, tiba-tiba Bli Nyoman datang dan mengatakan bahwa dia menerima pesan
Sunia untuk mencari buah Manas, kemudian cari inti tengah buah tersebut.
Sayapun diajak Bli nyoman untuk mencari pohon Nanas, dengan menyalakan senter
berputar –putar diseputaran tempat sembahyang, guna mendapatkan pohon nanas.
Akan tetapi saya sadar bahwa Pohon Manas itu bukanlah pohon nanas secara nyata,
akan tetapi dalam wujud pernyataan yang berkulit. Perlu kiranya dikupas maksud
dan makna pesan itu. Seperti dialog yang saya alami sebelumnya itu. Setelah Bli
Nyoman mengerti apa yang saya maksud , akhirnya niat mencari pohon Nanas
dibatalkan. Kemudian setelah sungkem di antara kedua pohon besar itu, kita
mohon pamit. Ketika kita tinggalkan
tempat, dalam jarak sepuluh langkah datanglah pemangku pura dalem Sunia yang bertugas
di pura itu. Rombongan tetap meneruskan perjalanan untuk pulang.
Tirta Pingit
TIRTA YATRA KE PURA
“TIRTA PINGIT “ BESAKIH
( Tilem, 9 Mei 2013 )
OM, Swastyastu,
“OM
Ano Badrah Kratawo Yanthu Wisvatah”
Baiklah kita awali dari pengertian
“Tirta Yatra” yang terdiri dari dua kata, yaitu Tirta dan Yatra. Tirta
mengandung makna pilosofis Air Suci,
sementara Yatra bermakna Perjalanan.
Secara sederhana dapat diartikan bahwa Tirta
Yatra adalah “Perjalanan Suci”. Perjalanan yang dimaksudkan yaitu Napak Tilas
jejak para suci yang telah duluan menemukan tempat yang nyaman, damai mengandung energi kesucian. Di
tempat tersebutlah beliau menemukan nilai kesadaran kesucian sehingga tempat
itu dipakainya tempat meditasi. Biasanya tempat seperti itu ditancapkan sesuatu
sebagai tonggak bahwa tempat tersebut memang mengandung energi spiritual kesucian.
Demikian halnya tempat atau daerah yang dituju ini merupakan jejak Maha Yogi
Markandya yang mendirikan Pura Besakih. Awalnya dari tempat yang bernama Tirta
Pingit inilah beliau bertapa/meditasi / semadi untuk membuat
konsep/model/design dari Pura Besakih. Dengan kemampuan meditasinya yang kuat
serta dari kehendak Hyang Widhi, maka deisgn Pura Besakih dapat terwujud yaitu
Konsep Asta Dala ( seperti kelopak Bunga Teratai) yang sarinya berkonotasi
sebagi Padma Tiga, untuk penghayatan Bhur,
Bwah, Swah dengan kekuatan energi dewatanya : Siwa,Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Kembali ke masalah
Tirta Yatra, mengapa kita yang beragama Hindhu diharapkan melakukan Tirta
Yatra? Itu tiada lain bermakna bahwa kita diharapkan selalu menyadari bahwa
manusia itu pada dasarnya “SUCI”( karena
manusia itu sejatinya Atma ). Namun karena kita sering lupa dan bahkan
terlalu condong pada kehidupan duniawi, sering melupakan hakiki diri kita yang
sejati, maka salah satu jalan untuk
kembali ke kesadaran suci yaitu dengan jalan Tirta Yatra ataupun Dharma
Yatra.
Melaksanakan Tirta Yatra bukanlah
sekedar datang ke tempat suci/Pura dengan membawa sesajen/banten kemudian
sembahyang lalu pulang. Sepatutnya Tirta Yatra itu dikonsepkan dalam pikiran
kita bahwa kita datang dan kembali membawa energi kesucian itu sendiri, dalam
artian mereka yang datang mesti membawa nilai-nilai kesucian kemudian pulang
dari Tirta Yatra bertambah Suci kembali. Bagai sebuah batrae yang lemah
kemudian di charge kembali.
Sering menjadi perbincangan,
bagaimana sikap laku kita dalam melaksanakan patirta yantran? Inilah yang perlu
kita sedikit pahami sehingga kita tidak menjadi rugi menghabiskan waktu
perjalanan dan tidak sedikitpun terjadi peningkatkan spiritual kesucian kala
melakukan Tirta Yatra. Baiklah kita mulai dari penentuan hari baik melakukan
Tirta Yatra, yaitu sebuah hari yang secara baik dan umum melakukan Tirta Yatra
yakni : Purnama, Tilem, Anggar Kasih, atau hari Piodalan dari tempat suci yang
dituju, ataupun hari-hari baik lainnya yang bersamaan dengan kesiapan mental
kita untuk melakukannya. Kemudian diniatkan secara utuh, penuh kesadaran bahwa
kita akan melaksanakan Tirta Yatra. Dengan menjaga pikiran kita tetap teguh dan
yakin akan napak tilas perjalanan suci yang sudah kita rencanakan, jangan hendaknya
hanya iseng belaka. Karena dengan cara kita yang iseng saja, maka kita tidak
akan meraih menfaat apa-apa. Dalam perjalanan kita menuju tempat yang kita
yakini itu, sebaiknya kita menjaga pikiran, perkataan dan perilaku selalu dalam
koridor keheningan, kedamaian dan kesucian bathin. Jangan hendaknya berpikir
negatif bila perlu kita lakukan Japa(
misalnya mengulang-ulang kata”OM” atau OM Nama Siwa , atau OM
Namo Budha, ataupun setiap tarikan napas kita ucapkan “SO” dan buang napas
dengan “HAM” ) mungkin juga japa Gayatri Mantram sesuai dengan yang kita bisa
dan nyaman lakukan. Kemudian sebisanya kita kendalikan perkataan kita dengan
tidak berkata kasar, berkata kotor, bercerita yang tidak sepantasnya kita
ceritakan. Selanjutnya prilaku perjalan yang kita lakukan dalam tindakan kaki
yang penuh disadari, bukan berjalan serampangan. Setiap langkah kaki kiri kita
sadari, demikian juga langkah yang kanan sadar penuh. Itu disebut Meditasi
Jalan. Sesampainya di altar atau jaba tengah tempat suci/Pura, kita benar-benar
konsentrasi dari masuk ke pura sampai dalam menyiapkan sarana persembahan.
Tidak perlu grasa-grusu, lakukan semua dengan keheningan, keiklasan, kedamaian.
Selanjutnya saat menaruh dan melakukan persembahan sesajen/banten iklaskan
secara total bahwa itu persembahan, niat awal jangan mengharap surudannya akan
kita ambil kembali, jangan takut ada salah satu jajan atau buah banten akan
dimakan binatang, itu iklaskan karena sudah merupakan bentuk kemurnian sebuah
persembahan. Inilah dasar melakukan Yadnya
yang tepat. Karena yadnya itu berarti persembahan tanpa mengikat dan mengharap apapun pada diri sendiri.
Selanjutnya setelah melakukan
persembahan berupa ngaturn Canang atau Banten, maka carilah tempat duduk yang
tenang, nyaman, aman, tanpa saling mengganggu. Disini sudah mulai Mona
Brata(mengurangi pembicaraan, kalau bisa suara yang keluar hanya suara Sepi,
Hening bagai suara genta sang wiku). Sebisanya lakukan keheningan diri dalam
perenungan diri, kontemplasi atau meditasi. Mohonkan kepada yang menemukan tempat
suci ini agar kita diijinkan untuk dapat menikmati kesucian seperti yang beliau
rasakan saat beliau rasakan sejak awal ditemukannya tempat itu, sampai saat
kini sebagai tempat suci.
Mungkin Doa yang sederhana ini
dapat dipancarkan di tempat dimana kita lakukan Tirta Yatra yaitu :
OM, Hyang Widhi
Dengan cinta kasih hamba datang bersujud dikaki padmamu, terimalah doa
kami yang sederhana ini : Semoga Hyang Widhi… Damai, Semoga Para Dewa… Damai,
Semoga Guru-Guru Agung dan Para Nabi… damai, Semoga semua Leluhur… damai,
Semoga semua Makhluk Hidup …damai dan Semoga Alam Jagat Semesta… damai,
Japakan berulang-ulang sesuai
kemampuan“ OM
Loka Samasta Sukino Bhawantu”
Setelah melakukan Doa perenungan
dalam Meditasi, lanjutkan dengan tata cara persembahyangan Panca Sembah yang
biasa dilakukan tiap persembahyangan. Seterusnya nunas Tirta dan Bija(benih
kesucian Pikiran, benih kesucian Perkataan dan benih kesucian Prilaku). Inilah
inti dari napak tilas perjalanan penuh kesadaran yang sering dikenal dengan Tirta Yatra. Selanjutnya setelah kita
mengakhiri persembahyangan, kita boleh mengambil tempat yang sesuai untuk kita
istirahat dan berdiskusi tentang spiritual, dengan catatan tetap pada koridor
dan tatanan keheningan dan kesucian dalam pilosofi Tri Kaya Pari Sudha, Sembari menikmati bekal yang kita telah
sediakan. Semoga setiap perjalanan Tirta Yatra dapat mengembalikan nilai-nilai
Kesucian dalam diri kita masing-masing.
Sehingga tubuh/badan dan roh itu menjadi tanah dan tempat suci (Our bodhy, Mind
an Soul is our holly Temple)
OM, Asato ma Sad Gamaya,
Tamasyo ma Jyotir Gamaya
Mrytyor ma Amrytham Gamaya.
Sabbe Satta Bhavantu sukitatta
OM, Santih, Santih,Santih, OM
Kuta,
4 Mei 2013
Oleh: I Nyoman Musna
Tirta Yatra ke Menjangan,2011
TIRTA YATRA KE PURA
“MENJANGAN”
SABTU 17 SEPTEMBER
2011
Adalah merupakan
program Tirtayatra LPD Kuta iap tahunnya, yang mana tahun 2011 ini pelaksanaan
Tirtayatra menuju Pura Menjangan, gilimanuk. Seperti biasa seluruh peserta
berkumpul di Pura Desa Kuta yang diawali persembahyangan bersama terlebih
dahulu. Setelah waktu menunjukkan pukul 08.00 wita, rombongan berangkat dengan
menggunakan 3 bus. Setelah perjalanan kurang lebih dua jam kita sampai di pura
Rambut Siwi, rombongan berhenti sejenak sembari melakukan persembahyangan dan
rehat sejenak untuk ngilangin penatnya pantat.serta buang air kecil. Setelah
kurang lebih rehat 10 menit, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Pura
segara Rupek, yang posisi pura dekat jalan raya ditepi pantai. Di pura ini rombongan
melaksanakan persembahyangan di Patirtan Ida Bhatara lingsir Danghyang Sidhi
Mantra. Pada saat melaksanakan persembahyangan saya mengalami dialog sunya,
saya bertanya pada beliau yang melingga disana, bagaimana cara(tata) memanggil
beliau yang berstana disana? Ada
jawaban muncul “cening dados ngorang “Bapa”(bahasa bali), beliau yang saya lihat begitu lembut dengan perawakan
tinggi di pelataran gedong, sayapun bersujud di kaki sang guru Sunya. Saat
diperciki tirta sayapun dikasi bunga Cempaka warna Putih oleh pemangku untuk
disumpangi.
Setelah sembahyang di patirtan Ida
Hyang Lingsir, rombongan bubar sembari nuju makan bersama. Tetapi saya dan
beberapa teman menuju asram Nyi Ratu Kidul untuk sembahyang dan melakukan
sungkem. Pada saat persembahyangan jro mangku tidak tampak di pesraman, tetapi
akhir sembahyang saya berharap dapat sungkem di altar ruang tengah(kamar) Nyi
Ratu, tetapi kamar terkunci. Pada saat angkat kaki dari tempat sembahyang,
datanglah Jro Mangku untuk mempersilakan kita sungkem ke tengah kamar, akhirnya
terwujudlah harapan saya demikian juga yang lainnya dapat sungkem di tengan
kamar beliau. Setelah pamit dari Asrama, kita lanjutkan makan siang bersama.
Makan siang usai, perjalanan
dilanjutkan menuju tempat perahu penyebrangan guna melakukan penyebrangan ke
Pura Menjangan. Setelah pendaftaran oleh panitia, penyebrangan berlangsung.
Tinggallah kami paling terakhir 4 orang menaiki perahu yang cukup gede, tapi
tidak apalah yang terpenting sampai disebrang. Setelah melewatu waktu 20 menit,
kita sampai ditepi pantai, meski sang nakhoda perahu mengalami mabuk karena
tadinya dia minum arak katanya, syukurlah kita sampai dengan selamat, meski ada
perasaan waswas saat melihat sang nakhoda tertidur hingga kendali mesin
dilakukan denga kakinya. Sesampainya di tepi pantai tempat penambatan perahu,
kita berempat turun dan istirahat di tepi pantai yang berpasir putih. Menikmati
indahnya pantai berpasir putih sambil menunggu matahari turun ke barat. Deburan
ombak bak suara alam melengkapai desiran angin yang mampu menghapus kepenatan.
Disaat kita santai, tiba-tiba datanglah seekor menjangan dibelakang, semua
tertegun dan mencoba memberi makanan agar mau tinggal diseputaran kita lebih
lama. Tiada disangka juga, tiba-tiba datanglah ikan warna –warni dibibir air
laut, begitu dekat ketepi, begitu indah penuh cerianya bermain-main pada
riak-riak kecil, hati terasa damai menikmati indahnya pantai berpasir putih
dihiasi karang pantai , seputih harapan bagi mereka yang bertirtayatra.
Kurang lebih dua
jam menikmati keindahan pantai, kecerian ikan menari dibibir pantai dan
binatang menjangan yang lagi asyik nikmati makanan yang diberikan oleh sahabat.
Kita berkemas meninggalkan pantai melanjutkan perjalanan menuju pura pertama
untuk melaksanakan persembahyangan. Pemangku dan juru resik telah siap menanti
disana, sementara menjangan ada 4 ekor disana, yang satu ditengan pura, yang
lain berada diluar pura. Canang dan dupa dihaturkan, kemudian kita berlima
melakukan persembahyangan yang dipimpin oleh pemangku. Sisa canang habis
sembhayang kita buang ketempat sampah, disana telah ditunggu oleh sang
menjangan untuk mengais makanan yang mungkin bisa dimakan dari sisa canang itu.
Perjalanan diteruskan menuju pendopo
Kebo Iwa (Brahma Ireng), seperti
biasanya persembahyangan dengan aturan Panca sembah dipimpin oleh pemangku.
Mengakhiri persembahyangan kita semua melakukan sungkem tiga kali di altar
Beliau. Akirnya kita diberikan wija berwarna hitam yang dikenakan dengan jari
tangah tangan kanan pada antara dua alis (adnya). Selanjutnya kita menuju Pendopo Gajah Mada ( Wisnu Murti),
dilakukan persembahyanan sama dengan di pendopo Kebo Iwa , akan tetapi akhir
persembahyangan kita diberikan benang Tridatu untuk dikenakan pada pergelangan
tangan kanan.
Meski wajah terasa penat karena
keringat dan cuaca panas, kita tetap melanjutkan persembahyangan menuju padma sana Hyang Lingsir ( Bhatara Ciwa) juga dipimpin oleh pemangku dengan
persembahyangan dengan panca sembah. Berikutnya kita sembahyang di patirtan Ratu Dalem Watu Renggong dengan
pelinggih meru tumpang 11 yang pengerjaannya masih tahap berlangsung dengan
bahan pelapis pasir putih dicampur semen putih . Persembahyangan juga dipimpin
oleh pemangku disana.
Selepas dari patirtan Ratu Dalem
Watu Renggong, persembahyangan kita lanjutan pada Ganeca yang patungnya begitu
besar menghadap ke laut, seakan – akan beliau siap menjaga keselamatan dari
ancaman bahaya dari luapan air laut. Nah disini pemangku mengajak umat
bersembahyang dengan cara yang sedikit berbeda dari biasanya yang mengginakan
aturan panca sembah. Persembhyangan pertama dengan menguncarkan mantra OM
seganyak 3 kali, berikutnya mantram Gayatri sebanyak 3 kali, terus mantram OM
Nama Siwa 3 kali kemudian diakhiri mantram parama santih 3 kali.
Persembahyangan dilakukan dari belakang patung Ganeca, kemudian setelah dapat
tirta, dupa yang habis dipakai sembahyang diambil pemangku untuk ditaruh depan
altar, para bhakta diarahkan untuk sungkem dan mencium kaki Ganesa pertanda
persembahyangan usai.
Mentari semakin
condong menuju Sun-set, angin semilir suara ombak mewarnai perjalanan menaiki melanjutkan
persembahyangan di patirtan Dewi Parwati, yang letaknya paling pojok lereng
bebatuan karang laut, didepan pelinggih
dihiasi bale bengong yang menambah suasana semakin tampak asri dan mengesankan.
Persembahyangan disini tidak dienter oleh pemangku, akan tetapi saya yang
memimipinnya dengan diawali Trisandya. Suara cicakpun menambah suasana
sembahyang makin khusuk dan mengesankan, tenang, damai, sentosa terasa saat
itu. Setelah sembahyang kita keluar dari altar, ternyata sudah ditunggu oleh
menjangan betina. Saya coba berikan makan jajan, menjanganpun menerima dan mau
memakan dengan lahapnya. Karena pengambilan gambar foto beberapa kali, akhirnya
dia mundur dan menjauh dari kita.
Dengan menuruni tangga pelataran pura, kita menuju
pura yang berposisi ditengah areal daerah pulau menjangan. Suasana sudah
nerawang mulai samar-samar jelang sandyakala. Dengan langkah yang santai kita
penuh waspada karena jalan tidak begitu rata, dipenuhi kerikil karang dan duri
dikanan kiri jalan, kita berlima menuju pura tersebut. Didepan pura kita
bertemu dengan Jro Bendesa, Bli Jo dan nyoman Alit Ardana, mereka akan balik
dari pura menuju tempat rehat. Gulita suasana ditengah pura, dengan menyalakan
dupa, trus maturan banten iyunan dan canang, tokek mulai bersuara sepertina
berucap Wellcome to Pura. Setelah ngayaban banten, kita bersama
sembahyang diawali dengan Trisandya kemudian Panca sembah. Setelah matirta dan
bija selanjutnya kita berlima melakukan Purwa Daksina (berkeliling di seputaran
pelinggih dengan arah jarum jam sebanyak
3 kali) dan sungkem di pelataran gedong . Kita duduk kembali kemudian
kita pancarkah doa cinta kasih kepada jagat semesta . sehabis itu menikmati
prasadam (surudan) tiba-tiba kita tengadah keatas melihat keindahan bintang di
langit. Ternyata tampaklah gugusan bintang membentuk tanda jantung (Love) dua
gugus atas dan bawah . disini nampak bahwa semesta memberi tanda pada kita
bahwasanya ketika kita datang dengan persembahan Cinta Kasih, maka Alampun
memberi ciri perlambang gugusan bintang berbentuk tanda Jantung, oh luar biasa
seru kita semua sembari makan surudan(prasadam)
Jumat, 31 Januari 2014
Menu Kesadaran Diri

MENU KESADARAN DIRI
Wahai
Jiwa-jiwa yang tercerahkan oleh Tuhan, sadarilah bahwa diri sejati kita adalah
Jiwa (Atma) setitik cahaya, kita ini sejatinya bukanlah badan. Badan ini adalah kendaraan kita. Pikiran kita adalah alat untuk
mempermudah untuk menjalani kehidupan ini. Akan tetapi kita bukanlah badan dan bukan pula pikiran. Sadarilah itu…!
Jiwa
yang sejati itu membawa sifat
Ketenangan, Ketentraman, Kedamaian, Kebahagiaan, Kesejahteraan, Kesentosaan,
Keiklasan penuh dengan Cinta Kasih. Kita sebagai jiwa hanyalah setitik cahaya
yang bersemayam ditengah – tengah tubuh kita, dia adalah energi yang merupakan
sumber hidup kita. Dialah sebagai penerang jalan hidup kita, karena dia adalah
cahya penerang diri. Dia yang abadi.
Sejatinya
jiwa ( Atma ) adalah kebenaran sanatana, penuh cemerlang, tiada terikat akan
ego, bebas, penuh kedamaian, penuh kasih. Inilah sejatinya kita sebagai
manusia. Adakah kita telah melupakan
diri kita yang sejati? Jika jawabnya …ya, maka dari itu marilah mulai saat ini
dan seterusnya wahai jiwa yang tersadarkan, kembalilah kepada kesejatian diri
yang sejati yaitu Atman. Mari kita kembali
pulang kerumah kesadaran diri yang
sesungguhnya. Karena memang kesejatian diri kita adalah setitik cahaya, yang nantinya akan berpulang kerumah cahaya yang maha luas dan Maha Agung sebagai
Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi ).
( From the litle soul to the Great Soul ) .
( From the litle soul to the Great Soul ) .
|
Selasa, 21 Januari 2014
Minggu, 19 Januari 2014
PR Membuat Streskah??
Renungan Di Hari Guru 2013.
Pekerjaan Rumah Pesrta Didik yang membuat STRESS?
Ada kisah yang unik disaat peringatan Hari Guru ke-68
25 November 2013, dirayakan dengan sederhana namun hikmat.
Diakhir perayaan para guru mendapat tanda cindra kasih sayang
dari peserta didik berupa setangkai kembang Mawar.
Yang mana ditangkainya ada berisi ikatan kertas yang bertuliskan:
“Bapak/Ibu Guru, tolong jangan saya diberikan Tugas Rumah
Berupa PR yang berlebihan, saya jadi stress”
Pesan singkat dari peserta didik seperti itu juga dikirimkan kepada Kepala Sekolah lewat pengiriman SMS di suatu malam hari. Adakah ini pertanda peserta didik memang benar tidak menghendaki dibebani tugas rumah oleh para pendidik? Ataukah memang peserta didik yang tidak suka dengan salah satu pelajaran? Atau peserta didik yang tidak suka dengan sebuah tanggung jawab yang dibebankan. Nah akhirnya para pendidik mulai memegang kepala untuk berpikir tentang bagaimana solusi yang bijak patut diambil didalam mengelola proses pembelajaran yang efektip, menantang dan menyenangkan. Apalagi Bapak Menteri Pendidikan menyatkan bahwa peserta didik tingkat sekolah menengah mesti mendapatkan tugas rumah dan atau tugas tambahan lima puluh persen(50%) dari indikator pencapaian setiap bidang mata pelajaran.
Apabila apa yang dikatakan oleh Bapak Menteri dilaksanakan oleh setiap pendidik maka ada berapa banyak tugas tambahan yang akan diterima dan harus diselesaikan oleh setiap peserta didik untuk semua mata pelajaran?. Umtuk itu mari kita bersama-sama belajar matematika sederhana dengan menggunakan operasi hitung tingkat dasar. Jumlah mata pelajaran yang didapat setiap peserta didik tidak kurang dari sebelas mapel. Apabila setiap bidang mata pelajaran rata-rata terdapat 20 indikator selama satu semester. Kemudian setiap indikator mesti diberi tugas tambahan satu kali. Maka dapatlah kita hitung banyak tugas yang mesti diselesaikan oleh setiap peserta didik selama satu semester yaitu : 8 x 20 = 160 macam tugas tambahan. Kemudian setiap pendidik mendidik 5 kelas ( kurang lebih 200 orang), maka tugas yang mesti diperiksa oleh pendidik selalama satu semester 200 x 20 = 4000 tugas tambahan. Apabila setiap satu semester terdapat sepuluh (10) kali ulangan harian, maka pendidik memeriksa sebanyak 10 x 200 = 2000 lembar ulangan harian. Ulangan semester satu kali yakni 200 x 1 = 200 lembar kerja US. Bila dilaksanakan lima puluh persennya, silakan dihitung!
Disamping pendidik bertugas memeriksa tugas- tugas tersebut, seorang pendidik sedikitnya mesti memiliki 14 item persiapan dari RPP sampai model Penilaian, ditambah pula bertugas meberikan remidi bagi peserta didik yang belum tuntas dan pengayaan bagi peserta didik yang tuntas. Dalam penilaian, seorang pendidik mesti mengelola model penilaian dari penguasaan nilai pengetahuan, sikap dan ketrampilan (K,A,P) ditambah pemberian nilai akhlak. Dari kesemua tugas seorang pendidik itu, tidak jarang seorang pendidik merasa kewalahan mengelola waktu dalam bertugas. Disebabkan tuntutan nilai profesional guru yang telah mendapatkan sertifikasi.
Tidak jarang terdengar kata “Stress” muncul dari bibir sang pendidik akibat sesaknya waktu yang tersedia. Ditambah lagi dengan bahan ajar yang tersedia pada kurikulum mesti habis disajikan di ruang kelas, meski terkesan dipaksa untuk diselesaikan.
Kumpulan Mereka yang Stress
Pada kondisi seperti itu, maka dapat kita hitung model segitiga siku. Panjang garis lurus dikuadartkan akan sama dengan jumlah kuadrat sisi yang lainnya( Theorema Phytagoras). Dua sisi yang dimaksudkan, dimana peserta didik dan pendidik sama-sama mengalami ke-stress-an. Maka daripada itu terciptalah kelas Stress pada setiap ruang belajar. Bilamana kelas merupakan kumpulan mereka-mereka yang stress, mungkinkan terjadi komunikasi proses pembelajaran yang menarik secara optimal?. Silakan renungi sendiri!. Apabila seorang pendidik dapat menyadari, maka obat yang dapat menurunkan kadar ke-stress-an mungkin dapat dilakukan cara penenangan kelas melalui meditasi (menghening), doa dan atau mengisi dengan selingan Joke lelucon gaya Tukul Arwana atau gaya Olga Syahputra, ah… bisa aja..?!. Jangan hendaknya seorang pendidik selalu menuntut dan menuntut, mengejar dan mengejar untuk menghabiskan bahan pembelajran yang tertera di kurikulum saja. Selalu awas, lihat situasi dan kondisi peserta didik kita. Bukankah mereka tidak jarang datang dari rumahnya membawa stress akibat kurang perhatian dari orang tua mereka, dimana orang tua selalu disibukan dengan urusan penunjang hidup?. Dari pada itu, mariah kita sebagai pendidik berusaha membuat kelas menjadi menarik dengan motto “My Class Is My Paradise” sehingga betah datang ke kelas tapat pada waktunya. Suasana selalu ceria, peserta didik selalu happy-enjoy menunggu pendidiknya datang membawa informasi menarik seperti Golden Ways-nya Mario Teguh atau boleh jadi Bukan Empat Mata miliknya Tukul Arwana (maaf bukan advertensi).
Kembali kepada isi berita SMS dan tulisan kecil peserta didik disaat hari Guru itu, sepertinya seorang pendidik mesti mulai membuka hatinya untuk dapat mengelola proses pembelajaran yang tepat dan bijak. Mungkin perlu adanya kerja bersama antar pendidik yang lain dalam memberikan tugas tambahan kepada peserta didiknya. Jangan hendaknya semua pendidik memberikan tugas tambahan dalam waktu bersamaan. Bila perlu dalam satu minggu cukup ada satu atau dua tugas tambahan buat anak didiknya. Jangan hendaknya peserta didik dimanjakan untuk menyelesaikan tugas hanya lewat internet yang bergaya mudah dan modern, yang kita tidak sadari akan dapat menciptakan generasi Plagiator yang selalu meniru dan meniru, jarang mengeksplor kemampuan yang dimiliki. Sehingga tidak terjadi seperti apa yang dialami oleh para pendidik dalam memenuhi tugas karya ilmiah guna memenuhi tuntutan sertifikasi guru. Ada berita terdengar hampir satu kontener tulisan karya ilmiah guru-guru dikembalikan oleh tim penilai pusat. Mari kita arahkan anak didik pada nilai-nilai kejujuran sejak awal. Meskipun nilai kejujuran itu saat ini harganya di awang-awang, jangkauan angan tiada tegapai, hanya bayang-bayang.(cuplikan puisi-penulis). Semogalah nilai-nilai keterbukaan, saling memahami masih ada diantara pendidik dan anak didik, sehingga polusi alam dapat berkurang sedikit dari kondisi ke-stres-an hidup, menuju Parama Santhi. S e m o g a l a h………………
ADAT KELAS "9A"
Disinilah kami berdiri
Siswa-siswi kelas sembilan A
Tegak tubuhnya, teguh imannya
Amal ibadat menghias hidupnya
Manusia yang selalu bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa
Selalu mensyukuri nikmat Tuhan yang dirasakan
Dengan melindungi Alam dan melestarikan lingkungan
Ciptaan Tuhan yang tiada bandingannya
Tegak, diam dan tenang, wajah cemerlang
Matanya memancarkan sinar kasih sayang
Yang menggurdi dihati setiap orang
Sikapnya yang ramah dan sopan
Ciri ksatria yang ayu dan tampan
Patriot Indonesia yang dibanggakan
Ketenangan membuktikan kemenangannya
kemenangan atas gejolak jiwa muda
Patuh akan putusan musyawarah
Bermufakat atas pelbagai pendapat
Tugas terlaksana tanpa banyak bicara
Karena berpegang pada pilsafat
Tanpa dukungan saudara kawan sahabat
Tiada banyak yang dapat diperbuat
Menolong sesama dikerjakan dengan iklas
Tiada mengharap puji dan balas
Keberhasilan usaha berbuah senyuman puas
Keberhasilan akibat kerajinan dan ketekunan
Ketangkasan da ketrampilan
Tabah, teguh dan sabar
Bertekad baja, berhati sutera
Selalu gembira dalam suka dan duka
Hemat menggunakan tenaga pikiran dan harta
Bekerja dengan cermat dan tertata
Bersahaja dalam hidupnya
Disiplin dan berani dalam bertindak
Atas keputusan yang penuh bijak
Untuk mewujudkan kesetiaan pada orang tua,
Pemimpin, Guru, Bangsa , Negara dan Agama
Bertanggung jawab atas dirinya, bangsa dan negara
Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya
Kutaku dalam Puisi Bali
KUTA. 70
Bias pasih putih
makenyir manis
Ombak magending
tembang sinom
Katang-katang
ngelilit bias pasih
Matan ai nyunarin
jagat rasa
Rasa sane
ngerasayang demen
Macanda di sisin
pasih
Menega ngolah
jukung mulang payang
Ngalih saang
anyud nuju sasih kaulu
Kutun bulung,
yuyu dipompongan anyud
Saang krinting
anggon nyakan
Kaang anyud tunu
anggon kapur tembok
Don danyuh anggon
nyundih
Ngalih jangkrik
di tegale
anggon ngendingan
pondok reot
Wong bulan anggon ulam serosob
Pésan celengis roroban jukut kelor
Bé gerang misi sambel matah
Walanda bok
gading tengkayak
ningkang di bias
putih
KUTA. 80
Bias pasih
ngancan selem ucem
Ombake magending
tembang jawi
Katang-katang
suba pada ilang
Manega ngolah
jukung masang jaring
Punyan nyuh
maganti kayu beton
Saang krinting
maganti kompor lengis gas
Munyin jangkrik
dadi suaran radio
Lampu templek
dadi lampu balon
Don biyu
maganti kertas nasi
Wong bulan dadi Mushrom di restoran
Ulam gerang dadi fuyung hai
Jukut meroroban
dadi cap cay
Walanda bok
gading tengkayak
Ningkang di Hotel
bintang sisin pasih
KUTA. 90
Bias pasih
ngancan nyelem nyeleman
Ombake
matembang Musik Rock
Manega nyopir
jukung mesin
Muat toris ngabe
ski ngalih ombak
Saang krinting
manadi kompor gas
Lampu templek
dadi lampu neon
Munyin jangkrik dadi
musik Rolling Stone
Bungalow dadi
hotel bintang lima
Warung bali dadi Restoran lan Discotik
Pésan celengis dadi kentacky
Bé gerang dadi humburger
Sambel matah
manadi saus botol
Walanda bok
gading ningkang di jalan
Tuak - Arak
meganti Bir – Wishky
Punyah
ngawag-ngawag di trotoar
Nyandu tusing
nganggo waktu
Nginang base dadi
pil exstasi
KUTA. 2000
Bias pasih mabatu
bukit
Saang krinting
ayud misi luu plastik
Yeh pasih nyalet
menyayad
Kutun bulung dadi
kutun toris
Tembang sinom
dadi tembang manon
Cedar-cedaran
tiying dadi Bom meledak
Peteng manadi
lemah
Lemahe manadi
peteng
Peteng lemah
tusing nawang galang
Galang rasa
kapetengan
Galang keneh
nyangket di pipis dollar
Kubu reot matukar
Vila
Karang embang
manadi Hotel bintang liyu
Warung bali
manadi SuperMarket
Sanggah menek
duur tingkat
Munyin jangkrik
dadi munyin HP
Jalane tusing pesan ada suwung mamung
6.1.13
Langganan:
Postingan (Atom)