Selasa, 14 Januari 2014

Menjaga taksu Bali



Pembangunan Bali yang berkelanjutan
Berwawasan Tri Hita Karana



            Berbicara masalah pembangunan khususnya pembangunan di bali tidak dapat dilepaskan dari konsep adi luhung yakni Tri Hita Karana. Bali yang sudah kesohor ke manca negara bukan hanya sekedar pembangunan pisik semata. Karena konsep pembangunan  bali memiliki kearipan lokal seperti aturan tata ruang seperti asta kosala kosali dan  asta bumi. Disamping itu juga ada konsep ulu(kepala) dan teben(kaki). Pembangunan bali yang berdasarkan konsep demikian itulah makanya bali memiliki nilai khas yang dikenal pembangunan yang mengandung nilai Taksu atau kharismatik yang tinggi. Apabila bali ingin tetap memiliki nilai taksu, maka pembangunan di bali mestinya tetap mempertahankan nilai-nilai kearipan lokal seperti yang tertera diatas. Bila tidak, maka bali akan menjadi suatu daerah metropolitan yang dipenuhi oleh gedung-gedung menjulang ke langit berkarakter kaku dan beku. Dengan demikian bali yang dikenal pulau sorga akan berubah menjadi pulau neraka. Akankah pembangunan di bali akan dibiarkan liar tanpa memperhatikan nilai budaya dan kearifan lokal?.
            Apabila kita lihat pembangunan di bali saat ini yang dibiarkan begitu bebas tanpa sedikitpun mengandung unsur nilai budaya bali. Para investor dengan modal yang besar begitu bebasnya membangun di bali seakan-akan diluar kontrol yang berwenang. Konsep tata ruang dan dampak lingkungan seakan-akan  sudah tidak menjadi perhatian serius lagi. Akibatnya bali sesak napas tersengal-sengal akibatnya benyaknya gedung bertingkat. Tidak lagi ada pembangunan yang berwawasan budaya. Tiada lagi memasukan kosep Tri Hita Karana dalam perencanaan pembangunan. Sehingga nilai keharmonisan  dalam kehidupan manusianya semakin menipis bila tidak boleh kita bilang habis sama sekali.  Dengan adanya keterbukaan  serta peluang bagi investor untuk menanamkam modalnya di bali, tidak adanya pengawasan yang ketat maka bali perlahan akan mengalami kehancuran.
            Pembangunan bali yang berkelanjutan mestinya tidak boleh lepas dari konsep Tri Hita Karana. Artinya setiap pembangunan memiliki nilai harmoni dengan unsur ketuhan melalui konsep pilosofi dan agama yang ada yaitu agama hindu. Memiliki nilai harmoni dengan alam lingkungan serta harmoni dengan unsur manusianya. Apabila dalam pembangunan di bali menghilangkan nilai-nilai tersebut maka niscaya pembangunan bali akan kehilangan jati diri. Bali tidak lagi menjadi “BALI” yakni Bagus Agung Indah Luhur. Bagus maksudnya pembangunan di bali mengandung nilai budaya dan karakter bali itu sendiri. Agung  memiliki nilai kewibawaan dan keagungan dalam bingkai agama hindu, Indah, memiliki nilai-nilai keindahan  kelembutan keasrian. serta Luhur memiliki nilai keluhuran dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Mari coba kita berpaling disekitar kita adakah Bali yang masih “BALI” dapat kita temui di pulau seribu pura ini?. Jawabnya ada pada diri kita sendiri. Agar pembangunan di bali tetap bernilai ke-“BALI”-annya, maka tidak ada kata lain selain tetap berorientasi pada philosofi Tri Hita Karana.
            Philosofi Tri Hita Karana yang bila disimak dari makna katanya yaitu Tri  berarti tiga, Hita artinya haroni dan Karana mengandung makna penyebab. Jadi Tri Hita Karana itu adalah tiga penyebab yang menjadikan kehidupan itu harmonis. Adapun ketiga hal tersebut yakni(1) Parahyangan maksudnya, manusia mesti percaya dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam serta segala isinya. Melaksanakan ibadah agama sesuai dengan kitab suci , memelihara tempat ibadah dengan baik.bukan sebaliknya malah merusak serta mencuri benda-benda yang disakralkan oleh satu agama. Seperti yang marak terjadi di bali yakni pencurian Pratima, membakar tempat ibadah. (2) Pawongan, yaitu manusia sepatutnya dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan semua kehidupan(manusia, binatang dan tumbuhan).  Tidak terjadinya perang antar etnis, pembantaian manusia secara keji tanpa prikemanusiaan. Membunuh serta memperjual belikan binatang langka secara bebas. Penggunaan pestisida secara liar yang berakibat pada kehancuran rantai kehidupan pada binatang. (3) Palemahan, yaitu manusia dapat hidup harmonis dengan alam lingkunannya. Manusia tidak secara membabi buta mengeksploitasi  alam serta isinya hanya  demi memenuhi egonya. Seperti yang kini kita lihat di bali sudah banyak daerah persawahan dan tegalan berubah jadi hotel dan mall. Tebing, hutan  dan sungaipun telah berubah menjadi vila. Sehingga bali semakin sesak napas. Penduduk semakin bertambah pengangguran mengikutinya. Dari ketidak harmonisan itu pula nilai pada sumber daya manusia semakin menurun terbukti kurupsi meraja ada dimana-mana, baik di pemerintahan maupun swasta.  Meskipun telah ada komite pemberantasan korupsi, akan tetapi korupsi tetap meraja rela, wah benar-benar memilukan. Bilamana hal demikian berlanjut terus tanpa adanya kesadaran semua pihak, maka niscaya bali akan menuai kehancuran. Apakah kita akan biarkan bali ini menemui kejatuhan yang mendalam hingga ke jurang kehancuran?. Jawabnya tentu tidak!. Dalam kondisi seperti inilah  peran generasi muda dituntut untuk tetap berjuang mempertahankan “keajegan” dan keluhuran tanah bali.
            Generasi muda mesti bergandengan tangan  untuk ikut mengambil peran dalam mempertahankan pembangunan di bali yang tetap berbasis pada kearipan lokal dengan prinsip “Think Globaly Act Traditional” yang artinya generasi muda mesti memiliki wawasan kesejagatan tetapi tetap mempertahankan nilai –nilai luhur tradisi. Mampu memfilter diri terhadap pengaruh global yang mana pergaulan kesejagatan seperti sekarang ini tidak semuanya mengandung nilai-nilai karakter yang sesuai dengan adat ketimuran. Mengejar ilmu pengetahuan  serta pengalaman seluas mungkin adalah sebuah kepatutan bagi generasi muda, bila tidak mau ketinggalan di jaman. Namun demikian mengejar ilmu pengetahuan mesti dibarengi oleh nilai-nilai budi pekerti, sehingga terjadi keseimbangan antara kemampuan intelek dengan ego. Keterbukaan seluas-luasnya untuk mengejar pengetahuan bukanlah berarti generasi muda dapat menggunakan kesempatannya untuk berlaku se-bebas-bebasnya tanpa adanya  batasan yang wajar. Keterbukaan Demikian pula halnya dengan pembangunan pisik di bali bukan berati membangun dilakukan  secara serampangan tanpa memperhatikan nilai budaya dan agama hindu sebagai penopangnya.
            Dunia telah mengakui bahwa philosofi Tri Hita Karana mengandung nilai adiluhung. Oleh sebab itu maka sewajarnya generasi muda sebagai penerus budaya leluhur mesti mau dan mampu mempertahankan. Mempertahankan konsep Tri Hita Karana bukan sekedar sebagai  pemanis dibibir serta bahan seminar belaka. Namun generasi muda mesti mampu berbuat nyata dalam mengaktualisasikan konsep tersebut dalam kehidupan. Para leluhur yang membuat konsep itu berdasarkan atas prilaku kesehariannya, bukan mengiklankan dan memamerkan diri bahwa mereka telah berbuat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana tersebut. Namun sekarang ini banyak kalangan yang berbicara banyak tentang konsep Tri Hita Karana, tetapi miskin pada praktek kesehariannya.
            Mengakhiri wacana ini, saya menghimbau kepada seluruh generasi muda bali untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan di bali dengan tetap berpedoman pada konsep Tri Hita Karana. Mari kita jaga Bali agar tetap menjadi “BALI”(bagus agung luhur indah). selalu eling dan bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi, harmonis terhadap  sesama hidup(manusia, binatang dan tumbuhan) serta menjaga keamanan , kenyamanan serta keasrian alam lingkungan bali itu sendiri. Jangan hendaknya generasi muda bali ikut-ikutan merongrong keajegan bali dari bali.
Apabila kita mampu dan mau mempertahankan nilai-nilai kearipan lokal bali, niscaya bali akan tetap memiliki taksu serta  menjadi primadona dunia. Bila tidak, bali akan kehilangan taksunya kemudian bali yang dikenal "island of Paradise" berubah "island of Hell".
                                                                                            Musna,okt,2013
           


ULANGAN HARIAN MATEMATIKA ( PANGKAT DAN AKAR )







 Kepada Siswa Kelas A,B,C
Silahkan jawab soal harian ini dengan jelas, kemudian di kumpul Senin 20 Januari 2014 

Minggu, 12 Januari 2014

PENCERAHAN LEWAT PUISI



MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
           
            Hampir disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya celotehan  dari seseorang. Pertanyaan yang paling sering keluar  yaitu “ Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki berupa kekayaan  tidak akan pernah kita bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu  merupakan sebuah jalan menuju kesadaran rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
            Saking seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan dini /
 lakar kija malih lantur pejalane / apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi / anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu, mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini / kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
              Mungkin puisi bali yang saya tulis itu mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika. Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan  kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?. Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan seterusnya.
            Selanjutnya puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat lahiriah. Sebuah  Puisi bali yang saya beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan  wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//.  Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis  diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit sudah habis  ditoleh/ kan tetapi belum bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/ hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
            Puisi yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada keseimbangan  kebutuhan lahir dan batin. Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan dan kedamaian  meluluh kedalam batin. Bagi mereka yang telah mampu menjaga  diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
            Apabila pertanyaan-pertanyaan kedalam diri  semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri) seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane, apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De ngedoh teken ragane  apang tusing doh teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri / dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus diikat oleh itu yang kotor.
                        Untaian bait – bait syair diatas  mengisyaratkan pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang Diri. Keterlupaan  diri kepada diri yang sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu, jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang bersifat  kotor dan keruh tidak menempel pada sang diri.  Seperti sabda sang tercerahkan  Budha Gautama “ Kosong itu berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri  sembari menyelam dalam diri yang sejati. SEMOGA HIDUP SEMAKIN TERCERAHKAN.

                                                                                                            I Nyoman Musna

RENUNGAN SIWA RATRI,2014



Renungan Siwa Ratri,29-1-2014

SAPTA MANDALA SARIRA
(Tujuh lapisan Kesadaran dalam diri)

Hormat kepada guru-guru Agung,

            Sang maha kawi Mpu Tanakung adalah seseorang yang telah mampu terlepas dari keterikatan duniawi (tan = tidak; akung = terikat). Pada malam Siwa melakukan peningkatan kesadaran spiritual dari kesadaran rendah(binatang) menuju kesadaran kelepasan(moksa) melalui jalan Tapa,Brata,Yoga dan Semadhi. Beliau membuat sebuah goresan lembut- halus perjalanan memahami kesadaran dirinya secara mendalam lewat meditasi ke dalam diri melintasi mandala-mandala yang tersusun rapi dalam energi halus pada tubuh astral sendiri. Perjalanan pendakian spiritualnya sang pelakon kisah Lubdhaka (Lubdha = Loba dan kebodohan) menuju ke kesadaran yang terang menderang membahagiakan (Siwa). Dari perjalanan yang halus lembut ini tergores sebuah cerita spiritual Malam Siwa Ratri. Pendakian spiritual kedalam diri melintasi cakra-cakra(energi halus) yang tersembunyi di dalam badan.
  
            Seperti pada Bhuwana Agung terdapat tujuh mandala(undakan) seperti : Bhuh, Bhwah, Swah, Mahah, Janah , Tapah , Satyah. Pada Bhuwana Alit juga terdapat 7 undakan atau lapisan kesadaran yang mencirikan sifat-sifat manusia itu sendiri. Ke-tujuh lapisan keasadaran itu adalah (1)Mandala Kasungka, (2)Mandala Seba, (3)Mandala Raja, (4)Mandala Wening, (5)Mandala Wangi, (6)Mandala Agung (7)Mandala Hyang.

            Mandala Kasungka,(ada pada Cakra Muladhara di daerah sex,aura warna merah) merupakan undakan paling bawah / dasar , mencirikan bahwa manusia itu masih terikat oleh Sad Ripu dan Sapta Timira. Mereka yang berada pada Mandala dasar ini masih memiliki sifat-sifat binatang. Makan, minum, tidur selalu berlebihan. Memenuhi nafsu merupakan dasar kesadaran hidupnya. Hidupnya selalu berkeinginan berkuasa, mau menang sendiri tanpa peduli orang lain.

            Mandala Seba,(pada Cakra Svadisthana di limpa, aura warna orange)  merupakan undakan nomor dua, berarti manusia selalu berpikir demi dan untuk diri sendiri saja. Memenuhi perut sendiri, sementara tidak pernah memikirkan orang lain diluar dirinya. Mereka yang berada pada mandala ini masih jauh dari yang namanya memahami kehidupan orang lain. Mereka hanya menghargai diri sendiri, dan tidak pernah peduli pada kehidupan orang lain, selalu menumpuk dan memupuk  mekayaan untuk diri sendiri. Orang semacam ini selalu ingin minta dihargai, namun tidak pernah menghargai orang lain.

            Mandala Raja,( pada Cakra Manipura di empedu,aura warna kuning) merupakan undakan yang ke tiga, tiada lain adalah mereka yang telah memahami kesadaran kebenaran dan kebijaksanaan antara kata dan tindakan. Mereka yang sudah sampai pada mandala ini tujuan dari hidupnya hanya mencari kesentosaan hidup dan kesentosaan hidup orang lain. Mereka yang ingin menjadi pemimpin sepatutnya mengetahui mandala ini. Mereka yang berada pada mandala ini sudah memahami kesejahteraan orang lain tanpa mendahulukan kepentingan pribadinya.

            Mandala Wening,( pada Cakra Anahata ada di Jantung,aura warna hijau) yaitu merupakan mandala (undakan) ke- empat yaitu bagi mereka yang telah memahami nilai Cinta Kasih dan Kasih Sayang semua Makhluk. Tiada pernah berhenti untuk membuat orang lain  damai dan bahagia. Siapa  yang sudah sampai pada mandala ini tidak lagi mendahulukan kekuasaan dan mengumpulkan artha hanya untuk kebutuhan hidupnya saja. Tidak lagi melakukan kegiatan yang berlebihan(hura-hura), mengumbar kemampuan diri, memasalahkan klan/warna dalam kehidupan. Karena dalam pemahaman hidupnya bukan itu yang menjadi inti sari pemikirannya.


            Mandala Wangi,(Cakra Visuddha pada tenggorokan,aura warna biru) merupakan undakan ke- lima. Mereka yang sudah sampai pada mandala ini dalam hidup dan kehidupannya selalu berdasar pada landasan Dharma. Dimana dan kapanpun perilakunya selalu berdasarkan dharma atau kebenaran. Bukan karena suatu agama, bukan pula karena suatu warna, akan tetapi memang dasar kehidupannya selalu memulyakan dharma itu sendiri. Dharmalah yang memenuhi tubuh, pikiran dan rasa pada dirinya. Memiliki keteguhan mental dalam spiritual.

            Mandala Agung,( cakra Agnya di antara kedua alis,aura warna nila ) merupakan mandala ke-enam. Dimana pada mandala agung ini manusia yang tidak lagi membicarakan tentang warna, klan, ras, tidak ada lagi rasa perbedaan antara yang satu dengan orang lainnya. Disini mereka menyadari manusia adalah sama(Tatwam Asi). Yang menjadi inti hidupnya adalah kebahagian hidup sebuah negara, bangsa serta kebahagian hidup secara keseluruhan di muka bumi ini. Hanya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup semua makhluk yang menjadi tujuan hidupnya. Dapat menguasai diri, penuh ilham dan bijaksana mendalam.

            Mandala Hyang,( Cakra Saharara adanya di ubun-ubun,aura warna ungu ) mandala ini yang paling utama(luhur). Mandala Hyang merupakan puncak kesadaran pada diri manusia. Tingkat pencapaian rohani dengan ilahi, kesadaran kosmis. Mandala ini merupakan kesadaran manusia untuk memahami kesujatian diri. Pada mandala ini manusia memahami satu kesatuan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Pada kesadaran ini manusia hanya memikirkan kesadaran kemanunggalan antara Atma dan Paramatma(sangkan paraning dumadi). Menuju tempat kesadaran suci panunggalan dengan Maha Agung yang disebut Moksa(moksartam jagadhita). Terbebas dari keterbelengguan oleh hal kesenangan maya jagat ini menuju kebahagiaan yang Maha Agung Sempurna.

            Hidup dalam kehidupan merupakan  pembelajaran menuju jalan kesadaran dan kebijaksanaan guna meraih kebahagiaan abadi sanatana dharma. Sang Lubdaka mengisyaratkan kehidupan  yang dipenuhi dengan Papa-Klesa menuju kebahagian sejati (Siwa). Tatwa ini tertuang dalam karya sastra spiritual “Siwa Ratri Kalpa”(dari kegelapan menuju terang sejati Maha terang, dari a-widya menuju widya).
Sabbe Satta Bhavantu Sukitatta, Semoga semua makhluk berbahagia.
                          OM,  Asato ma Sadgamaya
                                    Tamasyo ma Jyotir gamaya
                                    Mrtyor ma amhritam gamaya
                        Semoga dari kebodahan menuju kesadaran,
Semoga dari kesadaran menuju terang bijaksana
Semoga  dari terang bijaksana menuju Keabadian
            OM, Anobaddrah Kratawo yanthu visvatah
Semoga pikiran bersih dan suci datang dari segala penjuru
Menerangi hati yang gelap untuk meraih Terang sujati.
N.Musna, suwung ,5.1.14
 
                
                                                           OM NAMA SIWA YA
                                                        OM NAMO BUDHA YA