MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
Hampir
disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan
sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya
celotehan dari seseorang. Pertanyaan
yang paling sering keluar yaitu “
Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki
berupa kekayaan tidak akan pernah kita
bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa
muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama
datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka
yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu merupakan sebuah jalan menuju kesadaran
rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir
penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka
mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan
seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang
menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah
kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
Saking
seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun
mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di
iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan
dini /
lakar kija malih lantur pejalane
/ apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng
pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi /
anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu,
mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini /
kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau
kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk
menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata
digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara
hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
Mungkin puisi bali yang saya tulis itu
mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika.
Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah
kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah
diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang
datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?.
Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita
yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan
lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan
seterusnya.
Selanjutnya
puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang
hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat
lahiriah. Sebuah Puisi bali yang saya
beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah
ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine
masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja
tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen
ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine
tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu
ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//. Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan
mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari
isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit
sudah habis ditoleh/ kan tetapi belum
bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/
hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran
sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari
kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu
ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
Puisi
yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya
untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu
kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan
tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita
tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan
rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada
keseimbangan kebutuhan lahir dan batin.
Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan
dan kedamaian meluluh kedalam batin.
Bagi mereka yang telah mampu menjaga diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan
merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak
dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
Apabila
pertanyaan-pertanyaan kedalam diri
semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak
tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri)
seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane,
apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap
nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu
melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap
nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De
ngedoh teken ragane apang tusing doh
teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane
puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh
diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan
dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar
tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri
/ dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan
dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus
diikat oleh itu yang kotor.
Untaian
bait – bait syair diatas mengisyaratkan
pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang
Diri. Keterlupaan diri kepada diri yang
sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu,
jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan
tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang
bersifat kotor dan keruh tidak menempel
pada sang diri. Seperti sabda sang
tercerahkan Budha Gautama “ Kosong itu
berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut
dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri
sembari menyelam dalam diri yang sejati. SEMOGA HIDUP SEMAKIN TERCERAHKAN.
I
Nyoman Musna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar