Minggu, 12 Januari 2014

PENCERAHAN LEWAT PUISI



MENCARI PENCERAHAN LEWAT PUISI
           
            Hampir disetiap obrolan, entahkah itu bersifat senda gurau atau sedang membicarakan sesuatu yang sifatnya serius. Satu ketika munculah pertanyaan yang sifatnya celotehan  dari seseorang. Pertanyaan yang paling sering keluar  yaitu “ Sebenarnya untuk apasih kita lahir kedunia”?, toh apapun yang kita miliki berupa kekayaan  tidak akan pernah kita bawa sampai saat kematian tiba. Dengan begitu seringnya pertanyaan serupa muncul dari obrolan di masyarakat. Tidak jarang pula pertanyaan yang sama datang dari pebisnis yang sudah mapan, dari guru, agamawan, serta dari mereka yang menekuni jalan spiritual. Adakah pertanyaan semacam itu  merupakan sebuah jalan menuju kesadaran rohani?. Sepertinya demikian adanya. Mereka yang telah sampai pada batas akhir penggunaan logika dan telah mendapat pemenuhan rasa dibidang materi, maka mulailah muncul pertanyaan seperti siapa saya, dari mana saya, kemana saya dan seterusnya. Para kawi wiku tidak jarang menggoreskan pertanyaan serupa kedalam sebuah lontar berupa puisi. Bolehlah kita sebut tulisan demikian itu puisi kesadaran menuju pencerahan.
            Saking seringnya pertanyaan tentang diri muncul dari sahabat-sahabat, maka sayapun mencoba mengguratkan pena pada satu ketika dalam beberapa puisi bali. Satu di iantaranya berjudul “ Petakon” (pertanyaan) seperti ini;
Jro, …ngudiang mai /Apa sane bakal alih dini / Nyen ajak mai /
kenken mawinan dados jro teka mai / jro teka uli dija / terus…, wusan dini /
 lakar kija malih lantur pejalane / apake sube ngabe sunar / anggen nyuluh dewek /
apang tusing kepetengan / sawireh dini peteng dedet / matane peteng pitu /
ulian saru ane tuju / elingan / suara rasane ane tekekang ngisi / anggon tungked
ngatehang dewek / yening mapamit budal//. terjemahannya : hai kamu, mengapa kesini / apa yang akan kamu cari disini / siapa yang diajak kesini / kenapa kamu bisa kesini / kamu datang dari mana / trus, sehabis disini / mau kemana melanjutkan perjalanannya / apakah sudah membawa lentera / untuk menyinari diri / biar tidak kegelapan / sebab disini gelap gulita / mata digelapkan tujuh kegelapan / karena kegelapan yang tertuju / ingatlah / suara hati yang dipegang kuat / pakai tongkat menuntun diri / jika kembali pulang//.
              Mungkin puisi bali yang saya tulis itu mewakili pertanyaan sahabat yang pernah terlontar lewat obrolan disatu ketika. Seterusnya mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Apakah kita telah kehabisan akal didalam menghadapi permasalahan  kehidupan ini? Kemudian kita menjadi pasrah diri atas ketidak berdayaan kita?. Ataukah pertanyaan semacam itu muncul memang datang karena kesadaran rohani kita malai naik menuju ke level pencerahan diri?. Sejatinyanyalah pertanyaan semacam itu adalah hal yang wajar bagi setiap kita yang mulai tumbuh kesadaran rohani. Mungkin selanjutnya akan muncul pertanyaan lebih mendalam seperti Siapakah aku ini?, darimana asal muasal ku? dan seterusnya.
            Selanjutnya puisi berikut adalah sebuah puisi yang berkisah tentang suatu kehidupan yang hanya mengejar kesenangan. Senang untuk mencari kepuasan yang bersifat lahiriah. Sebuah  Puisi bali yang saya beri judul “ Melali” (berjala-jalan.)
Uli makelo suba melali ngalih demen/ Tusing ja waneh kema mai melali/Wantah ngalih isin demen/Telah suba baan nunggah gununge/Pasih suba telah bakat langiyang/Gumine masih suba telah bakat enjekin/Langite masih sube sesai bakat tolih/Masih ja tusing med melali ngalih demen/Sujatine dija ke tongos demenne?/Wantah ja demen ento nongos di kenehe/
Keneh demen maan suka/Keneh sebet maan duka/Keneh lara maan sengsara/Sujatine tusing ja ngalih demen sane patut/Sane kepatutan  wantah bagia sane ruruh/Tongosnye ditu ditengahing rasa/Mengkeb ring tengahing ati/Atine sane santih//.  Terjemahannya; sudah lama berjalan-jalan mencari kesenangan/ tidaklah bosan kesana kemari berjalan-jalan/hanya mencari isi kesenangan/habislah semua gunung didaki/ lautpun habis  diberenangi/ dunia telah kita jejaki/ langit sudah habis  ditoleh/ kan tetapi belum bosan jalan-jalan mencari kesenangan/ sejatinya dimana tempat kesenangan itu?/ hanyalah kesenangan itu ada pada pikiran/ pikiran senang dapat suka/ pikiran sidih dapat duka/ pikiran lara dapat sengsara/ sejatinya bukan mencari kesenangan yang benar/ sepatutnya kebahagiaanlah yang dicari/ tempatnya disitu ditengah rasa/ sembunyi didalam hati/ hati yang damai//.
            Puisi yang berjudul melali itu menyiratkah bahwa, bila dalam kehidupan ini hanya untuk mengejar kesenangan, maka akan jauh dari tujuan hidup yang sejati yaitu kebahagian dan kedamaian.
Kerena dengan mengejar kesenangan tidak jarang dapat bertemu dengan duka, bahkan sengsara. Bila semakin jauh kita tenggelam dalam pengejaran kesenangan yang bersifat badaniah, maka kebahagiaan rohani semakin menjauh. Kesadaran yang bertumpu pada pencerahan menekankan pada keseimbangan  kebutuhan lahir dan batin. Kesenangan itu bersifat pemuasan sementara bagi sang ego, sementara kebahagiaan dan kedamaian  meluluh kedalam batin. Bagi mereka yang telah mampu menjaga  diri dalam kesimbangan lahir dan batin akan merasakn keindahan dualitas (beauty of rwa bhineda). Seperti yang tampak dikebun bunga yang sering dinyanyikan anak-anak mawar melati semuaya indah.
            Apabila pertanyaan-pertanyaan kedalam diri  semakin mendalam, maka bait puisi ini dapat dipakai acuan dalam menguak tabir kebimbangan itu. Puisi yang berjudul :Nyuluh raga.( bersuluh pada diri) seperti tergurat :
Suluh-suluhin ragane, apang tusing engsap nyuluhin dewek / Tolih-tolihin ragane,apang tusing engsap nolih dewek / Inget-ingetang ragane, apang terus inget teken dewek /De bes liu melali, apang tusing kaiket baan lali / Tutur-tutur ragane, apang tusing engsap nuturang dewek / Paek-paekan ragane apang tusing engsap maekan dewek / De ngedoh teken ragane  apang tusing doh teken dewek/ Entungan tali iketanne, apang tusing terus kaiket dening to ya ane puket //. Terjemahannya yaitu suluh-suluhlah dirimu, agar tidak lupa bersuluh diri / lihat-lihatlah dirimu, agar tidak lupa menoleh diri / ingat-ingatkan dirimu, agar terus ingat sama diri / jangan terlalu banyak bepergian, agar tidak terikat oleh lupa / tutur-tuturkan dirimu, agar tidak lupa nuturkan diri / dekat-dekati dirimu agar tidak lupa mendekatkan diri / jangan jauh dengan dirimu, agar tidak jauh dengan diri / lepaskan tali ikatannya, agar tidak terus diikat oleh itu yang kotor.
                        Untaian bait – bait syair diatas  mengisyaratkan pada kita untuk selalu terjaga dan eling pada kesejatian diri sebagai sang Diri. Keterlupaan  diri kepada diri yang sejati membuat keterikatan mendalam pada kondisi kemayaan. Dari pada itu, jangan terlalu jauh bepergian hingga mengikatkan diri pada materi semata. Lepaskan tali keterikatan diri akan semua hal yang bersifat maya, agar nilai yang bersifat  kotor dan keruh tidak menempel pada sang diri.  Seperti sabda sang tercerahkan  Budha Gautama “ Kosong itu berisi, yang berisi itu kosong”. Adakah selama ini dan seterusnya akan bergelut dengan kekosongan tanpa makna?. Mari cari jawabannya dalam bait-bait puisi diri  sembari menyelam dalam diri yang sejati. SEMOGA HIDUP SEMAKIN TERCERAHKAN.

                                                                                                            I Nyoman Musna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar