Selasa, 14 Januari 2014

Menjaga taksu Bali



Pembangunan Bali yang berkelanjutan
Berwawasan Tri Hita Karana



            Berbicara masalah pembangunan khususnya pembangunan di bali tidak dapat dilepaskan dari konsep adi luhung yakni Tri Hita Karana. Bali yang sudah kesohor ke manca negara bukan hanya sekedar pembangunan pisik semata. Karena konsep pembangunan  bali memiliki kearipan lokal seperti aturan tata ruang seperti asta kosala kosali dan  asta bumi. Disamping itu juga ada konsep ulu(kepala) dan teben(kaki). Pembangunan bali yang berdasarkan konsep demikian itulah makanya bali memiliki nilai khas yang dikenal pembangunan yang mengandung nilai Taksu atau kharismatik yang tinggi. Apabila bali ingin tetap memiliki nilai taksu, maka pembangunan di bali mestinya tetap mempertahankan nilai-nilai kearipan lokal seperti yang tertera diatas. Bila tidak, maka bali akan menjadi suatu daerah metropolitan yang dipenuhi oleh gedung-gedung menjulang ke langit berkarakter kaku dan beku. Dengan demikian bali yang dikenal pulau sorga akan berubah menjadi pulau neraka. Akankah pembangunan di bali akan dibiarkan liar tanpa memperhatikan nilai budaya dan kearifan lokal?.
            Apabila kita lihat pembangunan di bali saat ini yang dibiarkan begitu bebas tanpa sedikitpun mengandung unsur nilai budaya bali. Para investor dengan modal yang besar begitu bebasnya membangun di bali seakan-akan diluar kontrol yang berwenang. Konsep tata ruang dan dampak lingkungan seakan-akan  sudah tidak menjadi perhatian serius lagi. Akibatnya bali sesak napas tersengal-sengal akibatnya benyaknya gedung bertingkat. Tidak lagi ada pembangunan yang berwawasan budaya. Tiada lagi memasukan kosep Tri Hita Karana dalam perencanaan pembangunan. Sehingga nilai keharmonisan  dalam kehidupan manusianya semakin menipis bila tidak boleh kita bilang habis sama sekali.  Dengan adanya keterbukaan  serta peluang bagi investor untuk menanamkam modalnya di bali, tidak adanya pengawasan yang ketat maka bali perlahan akan mengalami kehancuran.
            Pembangunan bali yang berkelanjutan mestinya tidak boleh lepas dari konsep Tri Hita Karana. Artinya setiap pembangunan memiliki nilai harmoni dengan unsur ketuhan melalui konsep pilosofi dan agama yang ada yaitu agama hindu. Memiliki nilai harmoni dengan alam lingkungan serta harmoni dengan unsur manusianya. Apabila dalam pembangunan di bali menghilangkan nilai-nilai tersebut maka niscaya pembangunan bali akan kehilangan jati diri. Bali tidak lagi menjadi “BALI” yakni Bagus Agung Indah Luhur. Bagus maksudnya pembangunan di bali mengandung nilai budaya dan karakter bali itu sendiri. Agung  memiliki nilai kewibawaan dan keagungan dalam bingkai agama hindu, Indah, memiliki nilai-nilai keindahan  kelembutan keasrian. serta Luhur memiliki nilai keluhuran dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Mari coba kita berpaling disekitar kita adakah Bali yang masih “BALI” dapat kita temui di pulau seribu pura ini?. Jawabnya ada pada diri kita sendiri. Agar pembangunan di bali tetap bernilai ke-“BALI”-annya, maka tidak ada kata lain selain tetap berorientasi pada philosofi Tri Hita Karana.
            Philosofi Tri Hita Karana yang bila disimak dari makna katanya yaitu Tri  berarti tiga, Hita artinya haroni dan Karana mengandung makna penyebab. Jadi Tri Hita Karana itu adalah tiga penyebab yang menjadikan kehidupan itu harmonis. Adapun ketiga hal tersebut yakni(1) Parahyangan maksudnya, manusia mesti percaya dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam serta segala isinya. Melaksanakan ibadah agama sesuai dengan kitab suci , memelihara tempat ibadah dengan baik.bukan sebaliknya malah merusak serta mencuri benda-benda yang disakralkan oleh satu agama. Seperti yang marak terjadi di bali yakni pencurian Pratima, membakar tempat ibadah. (2) Pawongan, yaitu manusia sepatutnya dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan semua kehidupan(manusia, binatang dan tumbuhan).  Tidak terjadinya perang antar etnis, pembantaian manusia secara keji tanpa prikemanusiaan. Membunuh serta memperjual belikan binatang langka secara bebas. Penggunaan pestisida secara liar yang berakibat pada kehancuran rantai kehidupan pada binatang. (3) Palemahan, yaitu manusia dapat hidup harmonis dengan alam lingkunannya. Manusia tidak secara membabi buta mengeksploitasi  alam serta isinya hanya  demi memenuhi egonya. Seperti yang kini kita lihat di bali sudah banyak daerah persawahan dan tegalan berubah jadi hotel dan mall. Tebing, hutan  dan sungaipun telah berubah menjadi vila. Sehingga bali semakin sesak napas. Penduduk semakin bertambah pengangguran mengikutinya. Dari ketidak harmonisan itu pula nilai pada sumber daya manusia semakin menurun terbukti kurupsi meraja ada dimana-mana, baik di pemerintahan maupun swasta.  Meskipun telah ada komite pemberantasan korupsi, akan tetapi korupsi tetap meraja rela, wah benar-benar memilukan. Bilamana hal demikian berlanjut terus tanpa adanya kesadaran semua pihak, maka niscaya bali akan menuai kehancuran. Apakah kita akan biarkan bali ini menemui kejatuhan yang mendalam hingga ke jurang kehancuran?. Jawabnya tentu tidak!. Dalam kondisi seperti inilah  peran generasi muda dituntut untuk tetap berjuang mempertahankan “keajegan” dan keluhuran tanah bali.
            Generasi muda mesti bergandengan tangan  untuk ikut mengambil peran dalam mempertahankan pembangunan di bali yang tetap berbasis pada kearipan lokal dengan prinsip “Think Globaly Act Traditional” yang artinya generasi muda mesti memiliki wawasan kesejagatan tetapi tetap mempertahankan nilai –nilai luhur tradisi. Mampu memfilter diri terhadap pengaruh global yang mana pergaulan kesejagatan seperti sekarang ini tidak semuanya mengandung nilai-nilai karakter yang sesuai dengan adat ketimuran. Mengejar ilmu pengetahuan  serta pengalaman seluas mungkin adalah sebuah kepatutan bagi generasi muda, bila tidak mau ketinggalan di jaman. Namun demikian mengejar ilmu pengetahuan mesti dibarengi oleh nilai-nilai budi pekerti, sehingga terjadi keseimbangan antara kemampuan intelek dengan ego. Keterbukaan seluas-luasnya untuk mengejar pengetahuan bukanlah berarti generasi muda dapat menggunakan kesempatannya untuk berlaku se-bebas-bebasnya tanpa adanya  batasan yang wajar. Keterbukaan Demikian pula halnya dengan pembangunan pisik di bali bukan berati membangun dilakukan  secara serampangan tanpa memperhatikan nilai budaya dan agama hindu sebagai penopangnya.
            Dunia telah mengakui bahwa philosofi Tri Hita Karana mengandung nilai adiluhung. Oleh sebab itu maka sewajarnya generasi muda sebagai penerus budaya leluhur mesti mau dan mampu mempertahankan. Mempertahankan konsep Tri Hita Karana bukan sekedar sebagai  pemanis dibibir serta bahan seminar belaka. Namun generasi muda mesti mampu berbuat nyata dalam mengaktualisasikan konsep tersebut dalam kehidupan. Para leluhur yang membuat konsep itu berdasarkan atas prilaku kesehariannya, bukan mengiklankan dan memamerkan diri bahwa mereka telah berbuat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana tersebut. Namun sekarang ini banyak kalangan yang berbicara banyak tentang konsep Tri Hita Karana, tetapi miskin pada praktek kesehariannya.
            Mengakhiri wacana ini, saya menghimbau kepada seluruh generasi muda bali untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan di bali dengan tetap berpedoman pada konsep Tri Hita Karana. Mari kita jaga Bali agar tetap menjadi “BALI”(bagus agung luhur indah). selalu eling dan bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi, harmonis terhadap  sesama hidup(manusia, binatang dan tumbuhan) serta menjaga keamanan , kenyamanan serta keasrian alam lingkungan bali itu sendiri. Jangan hendaknya generasi muda bali ikut-ikutan merongrong keajegan bali dari bali.
Apabila kita mampu dan mau mempertahankan nilai-nilai kearipan lokal bali, niscaya bali akan tetap memiliki taksu serta  menjadi primadona dunia. Bila tidak, bali akan kehilangan taksunya kemudian bali yang dikenal "island of Paradise" berubah "island of Hell".
                                                                                            Musna,okt,2013
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar