Pembangunan Bali yang berkelanjutan
Berwawasan Tri Hita Karana
Berbicara masalah
pembangunan khususnya pembangunan di bali tidak dapat dilepaskan dari konsep
adi luhung yakni Tri Hita Karana. Bali yang
sudah kesohor ke manca negara bukan hanya sekedar pembangunan pisik semata.
Karena konsep pembangunan bali memiliki
kearipan lokal seperti aturan tata ruang seperti asta kosala kosali dan asta bumi. Disamping itu juga ada konsep ulu(kepala) dan teben(kaki). Pembangunan bali yang berdasarkan konsep demikian
itulah makanya bali memiliki nilai khas yang dikenal pembangunan yang
mengandung nilai Taksu atau kharismatik yang tinggi. Apabila bali ingin tetap
memiliki nilai taksu, maka pembangunan di bali mestinya tetap mempertahankan
nilai-nilai kearipan lokal seperti yang tertera diatas. Bila tidak, maka bali
akan menjadi suatu daerah metropolitan yang dipenuhi oleh gedung-gedung
menjulang ke langit berkarakter kaku dan beku. Dengan demikian bali yang
dikenal pulau sorga akan berubah menjadi pulau neraka. Akankah pembangunan di
bali akan dibiarkan liar tanpa memperhatikan nilai budaya dan kearifan lokal?.
Apabila kita lihat
pembangunan di bali saat ini yang dibiarkan begitu bebas tanpa sedikitpun
mengandung unsur nilai budaya bali. Para
investor dengan modal yang besar begitu bebasnya membangun di bali seakan-akan
diluar kontrol yang berwenang. Konsep tata ruang dan dampak lingkungan
seakan-akan sudah tidak menjadi
perhatian serius lagi. Akibatnya bali sesak napas tersengal-sengal akibatnya
benyaknya gedung bertingkat. Tidak lagi ada pembangunan yang berwawasan budaya.
Tiada lagi memasukan kosep Tri Hita Karana dalam perencanaan pembangunan.
Sehingga nilai keharmonisan dalam
kehidupan manusianya semakin menipis bila tidak boleh kita bilang habis sama
sekali. Dengan adanya keterbukaan serta peluang bagi investor untuk menanamkam
modalnya di bali, tidak adanya pengawasan yang ketat maka bali perlahan akan
mengalami kehancuran.
Pembangunan bali
yang berkelanjutan mestinya tidak boleh lepas dari konsep Tri Hita Karana.
Artinya setiap pembangunan memiliki nilai harmoni dengan unsur ketuhan melalui
konsep pilosofi dan agama yang ada yaitu agama hindu. Memiliki nilai harmoni
dengan alam lingkungan serta harmoni dengan unsur manusianya. Apabila dalam
pembangunan di bali menghilangkan nilai-nilai tersebut maka niscaya pembangunan
bali akan kehilangan jati diri. Bali tidak lagi menjadi “BALI”
yakni Bagus Agung Indah Luhur. Bagus
maksudnya pembangunan di bali mengandung nilai budaya dan karakter bali itu
sendiri. Agung memiliki nilai kewibawaan dan keagungan dalam
bingkai agama hindu, Indah, memiliki
nilai-nilai keindahan kelembutan
keasrian. serta Luhur memiliki nilai
keluhuran dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Mari coba kita berpaling
disekitar kita adakah Bali yang masih “BALI”
dapat kita temui di pulau seribu pura ini?. Jawabnya ada pada diri kita
sendiri. Agar pembangunan di bali tetap bernilai ke-“BALI”-annya, maka tidak
ada kata lain selain tetap berorientasi pada philosofi Tri Hita Karana.
Philosofi Tri Hita
Karana yang bila disimak dari makna katanya yaitu Tri berarti tiga, Hita artinya haroni dan Karana
mengandung makna penyebab. Jadi Tri Hita Karana itu adalah tiga penyebab yang
menjadikan kehidupan itu harmonis. Adapun ketiga hal tersebut yakni(1) Parahyangan
maksudnya, manusia mesti percaya dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan
Yang Maha Esa sebagai pencipta alam serta segala isinya. Melaksanakan ibadah
agama sesuai dengan kitab suci , memelihara tempat ibadah dengan baik.bukan
sebaliknya malah merusak serta mencuri benda-benda yang disakralkan oleh satu
agama. Seperti yang marak terjadi di bali yakni pencurian Pratima, membakar
tempat ibadah. (2) Pawongan, yaitu manusia sepatutnya dapat hidup berdampingan
secara harmonis dengan semua kehidupan(manusia, binatang dan tumbuhan). Tidak terjadinya perang antar etnis,
pembantaian manusia secara keji tanpa prikemanusiaan. Membunuh serta memperjual
belikan binatang langka secara bebas. Penggunaan pestisida secara liar yang
berakibat pada kehancuran rantai kehidupan pada binatang. (3) Palemahan, yaitu
manusia dapat hidup harmonis dengan alam lingkunannya. Manusia tidak secara
membabi buta mengeksploitasi alam serta
isinya hanya demi memenuhi egonya.
Seperti yang kini kita lihat di bali sudah banyak daerah persawahan dan tegalan
berubah jadi hotel dan mall. Tebing, hutan
dan sungaipun telah berubah menjadi vila. Sehingga bali semakin sesak napas.
Penduduk semakin bertambah pengangguran mengikutinya. Dari ketidak harmonisan
itu pula nilai pada sumber daya manusia semakin menurun terbukti kurupsi meraja
ada dimana-mana, baik di pemerintahan maupun swasta. Meskipun telah ada komite pemberantasan
korupsi, akan tetapi korupsi tetap meraja rela, wah benar-benar memilukan.
Bilamana hal demikian berlanjut terus tanpa adanya kesadaran semua pihak, maka
niscaya bali akan menuai kehancuran. Apakah kita akan biarkan bali ini menemui
kejatuhan yang mendalam hingga ke jurang kehancuran?. Jawabnya tentu tidak!.
Dalam kondisi seperti inilah peran
generasi muda dituntut untuk tetap berjuang mempertahankan “keajegan” dan
keluhuran tanah bali.
Generasi muda mesti
bergandengan tangan untuk ikut mengambil
peran dalam mempertahankan pembangunan di bali yang tetap berbasis pada
kearipan lokal dengan prinsip “Think Globaly Act Traditional” yang artinya
generasi muda mesti memiliki wawasan kesejagatan tetapi tetap mempertahankan
nilai –nilai luhur tradisi. Mampu memfilter diri terhadap pengaruh global yang
mana pergaulan kesejagatan seperti sekarang ini tidak semuanya mengandung nilai-nilai
karakter yang sesuai dengan adat ketimuran. Mengejar ilmu pengetahuan serta pengalaman seluas mungkin adalah sebuah
kepatutan bagi generasi muda, bila tidak mau ketinggalan di jaman. Namun
demikian mengejar ilmu pengetahuan mesti dibarengi oleh nilai-nilai budi
pekerti, sehingga terjadi keseimbangan antara kemampuan intelek dengan ego.
Keterbukaan seluas-luasnya untuk mengejar pengetahuan bukanlah berarti generasi
muda dapat menggunakan kesempatannya untuk berlaku se-bebas-bebasnya tanpa adanya batasan yang wajar. Keterbukaan Demikian pula
halnya dengan pembangunan pisik di bali bukan berati membangun dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan nilai
budaya dan agama hindu sebagai penopangnya.
Dunia telah
mengakui bahwa philosofi Tri Hita Karana mengandung nilai adiluhung. Oleh sebab
itu maka sewajarnya generasi muda sebagai penerus budaya leluhur mesti mau dan
mampu mempertahankan. Mempertahankan konsep Tri Hita Karana bukan sekedar
sebagai pemanis dibibir serta bahan
seminar belaka. Namun generasi muda mesti mampu berbuat nyata dalam
mengaktualisasikan konsep tersebut dalam kehidupan. Para
leluhur yang membuat konsep itu berdasarkan atas prilaku kesehariannya, bukan
mengiklankan dan memamerkan diri bahwa mereka telah berbuat sesuai dengan
konsep Tri Hita Karana tersebut. Namun sekarang ini banyak kalangan yang
berbicara banyak tentang konsep Tri Hita Karana, tetapi miskin pada praktek
kesehariannya.
Mengakhiri wacana
ini, saya menghimbau kepada seluruh generasi muda bali untuk bersama-sama
melanjutkan pembangunan di bali dengan tetap berpedoman pada konsep Tri Hita
Karana. Mari kita jaga Bali agar tetap menjadi “BALI”(bagus
agung luhur indah). selalu eling dan bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi,
harmonis terhadap sesama hidup(manusia, binatang
dan tumbuhan) serta menjaga keamanan , kenyamanan serta keasrian alam
lingkungan bali itu sendiri. Jangan hendaknya generasi muda bali ikut-ikutan
merongrong keajegan bali dari bali.
Apabila kita mampu dan mau mempertahankan nilai-nilai kearipan lokal
bali, niscaya bali akan tetap memiliki taksu
serta menjadi primadona dunia. Bila tidak, bali akan kehilangan taksunya kemudian bali yang dikenal "island of Paradise" berubah "island of Hell".
Musna,okt,2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar