Selasa, 14 Januari 2014

Bencana datang dari Keserakahan



Bencana datang dari Keserakahan


Makan dan minum berlebihan menyebabkan sakit pada badan
Air hujan turun berlebihan berakibat banjir bandang
Angin datang dengan kecepatan berlebihan menjadi badai topan
Panas datang melebihi keadaan biasanya menyebabkan kekeringan
Api sebagai panas bumi berlebihan akan berakibat gunung meletus
Hiduplah harmoni dengan Panca Maha Butha

            Ketidak-seimbangan penyebab dari segala bentuk bencana. Baik pada alam kecil(mikrokosmos) ataupun pada alam besar (makrokosmos). Alam beserta isinya tecipta dari keseimbangan dengan hukumnya bernama Rta. Manusia sebagai makhluk berpikir dan berakhlak dititipkan untuk ikut menjaga keseimbangan semesta. Namun,  manusia sendiri memiliki ego kepemilikan yang begitu besar, maka tidak jarang ke-ego-an itu manusia  menjadi lupa diri untuk menguasai alam.
Berawal dari rasa kepemilikan manusia yang kuat itulah ikut memberi andil pada ketidak seimbangan alam, kemudian mempercepat timbulnya berbagai bencana.
            Untuk menjaga keseimbangan diri manusia terhadap keseimbangan alam dalam menjalani kehidupan, oleh para tetua kita mengkonsepkan sebuah tatanan hidup harmoni yang dikenal dengan pilsafat “Tri Hita Karana” yaitu tiga penyebab untuk meraih hidup harmonis dan bahagia.
Pertama, hubungan harmoni dengan Sang Pencipta alam ini dengan hidup penuh tawaqal dan bersyukur; kedua, hubungan harmoni dengan sesama hidup dengan pemahaman bahwa semua yang hidup adalah bersaudara( vasudewa khutum bhakam) dan yang ketiga, hidup harmoni dengan alam itu sendiri, karena alam semesta itu juga diri kita sendiri. Apabila konsep keseimbangan itu dapat teraktualisasikan dalam kehidupan secara sadar dan bijak, niscaya keseimbangan hidup dengan alam akan dapat  terjaga. Selanjutnya bencana alam akan dapat diperjarang meski untuk menjadi nihil bencana adalah nisbi, karena alam itu sendiri tetap mengalami perubahan sesuai dengan usia alam yang semakin renta.
            Pada musim penghujan tahun ini hampir diseantero tanah air mengalami banjir. Hampir tiap hari dalam siaran TV menampilkan bencana banjir dan tanah lonsor. Kota Jakarta misalnya, dengan gubernurnya yang baru dilantik sudah bertarung bak pendekar melawan kondisi bajir disetiap sudut jakarta. Kalau saja kita boleh menyebutkan pak gubernur sebagi “pendekar banjir”. Berlebihnya air yang turun dari langit berupa curah hujan tinggi berakibat banjir bandang, itu benar adanya. Disamping curah hujan yang turun tinggi, manusia sendiri mempunyai andil sebagai penyebab banjir, seperti kurang disiplinnya masyarakat membuang sampah. Dari hulu bukit dan gunung digunduli, sementara di hilir tanah ditutupi beton-beton dengan angkuhnya gedung betingkat dimana-mana. Padahal telah telah diingatkan dalam ritual  Wana Kertih, Segara Kertih dan Danu Kertih. Adapun  ritual itu dapat dimaknai sebagai peringatan pada kehidupan untuk selalu menjaga hutan, laut dan danau agar tetap dijaga keberadaannya. Bukan untuk dieksploitasi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.  Kurangnya tanah kosong yang tersedia sebagai resapan air disaat masim hujan. Hampir disetiap jengkal tanah diperkotaan ditanami beton dan diaspal, sehingga air tidak bisa terserap ke tanah. Ketika tidak adanya tanah lapang sebagai resapan, maka semua alir mengalir ke laut, dalam kurun waktu singkat manusia kekurangan air bawah tanah. Pada kondisi seperti ini pak gubernur jakarta mengintruksikan setiap rumah tangga dan bengunan gedung perkantoran  untuk membuat lubang resapan air hujan yang dikenal Biopori.  Untuk konsep semacam biopori ini, nenek moyang orang bali sejak jaman dulu  telah menyediakan ruang berupa lahan kosong dipekarangan rumah yang disebut karang luang atau karang embang. Tempat ini sering ditanami pohon buah dan tempat memelihara ternak sehingga dalam konteks harmoni dan pilosofinya ada perayaan Tumpek Wubuh (upacara untuk harmoni dengan tumbuhan) dan Tumpek Kandang (upacara untuk harmonis dengan binatang) . Pekarangan embang inilah sebenarnya dipakai meresapkan air kedalam tanah, sehingga banjir dapat dihindari dirumah tangga, namun sekarang karang embang tinggal kenangan dalam kenangan. Kerena setiap jengkal tanah yang ada dalam pekarangan rumah dipaping dan dibeton sehingga air hujan singgah ke kamar tidur. Banjar dapat berdampak pada rusaknya pemukiman penduduk, sulitnya mendapatka air bersih, rusaknya sarana prasarana penduduk, rusaknya areal pertanian, timbulnya berbagai penyakit, terhambatnya transportasi darat yang berakibat pada terhambatnya laju perekonomian masyarakat.
Untuk menghindari air hujan begitu lama menggenangi pekarangan rumah, kiranya dapat dibuat Lubang Resapan Biopori.
            Apakah Lubang Resapan Biopori(LRB) itu, bagaimana cara membuatnya?
Lubang resapan biopri adalah sebuah lubang vertikal di tanah, dengan diameter lubang  10 cm dengan kedalaman sekitar satu meter. Biopori itu sendiri merupakan pori-pori berbentuk lubang(terowongan kecil) yang diberdayakan oleh aktivitas fauna tanah atau aktivitas akar tanaman, ketika mencari makanan(kompos) yang telah disediakan dalam lubang( Khamir R Brata, 2007). Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, karena relatif mudah dilakukan serta dapat memelihara berlangsungnya proses-proses fisik, kimia, dan biologi. Penerapan Lubang Resapan Biopori dapat mengakibatkan perbaikan lingkungan perkotaan. Fungsi yang dimiliki oleh LRB adalah untuk : (1) memanfaatkan sampah organik menjadi kompos, (2) meningkatkan peran aktivitas biodeversitas tanah dan akar tanaman; (3) mengurangi emisi gas-gas rumah kaca CO2 dan metan; (4) meningkatkan laju peresapan air dan cadangan air tanah, dan (5) mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.  Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin padat, lahan semakin menyempit yang dipenuhi dengan areal pemukiman sangat padat, maka Lubang Resapan Biopori merupakan hal penting dilakukan disetiap rumah tangga agar dapat terhindar dari kondisi terendam banjir.
            Apabila kita renung sejenak, bertanya pada diri kita makna dan pesan apakah yang dapat kita petik di balik  sebuah bencana?. Sepertinya alam berpesan bahwa manusia diingatkan untuk tidak serakah untuk mengeksploitasi alam. Semestinya alam dihormati sebagai rumah tinggal bersama hidup berdampingan penuh harmonis dengan konsep cintai diri cintai alam, sayangi diri sayangi alam. Karena alam sendiri merupakan Ibu dan Bapak sebagai pemberi hidup dalam kehidupan ini. Akankah kita biarkan alam menangis sedih dan akhirnya murka hanya karena keserakahan kita?. Tentu jawabnya Tidak!
            Meskipun bencana alam terutama banjir tidak dapat kita hindari seratus persen, namun kita tidak ikut campur mempercepat proses perusakan alam.  Dengan bercermin kepada kearifan tetua kita yang selalu hidup harmoni dengan alam melalui konsep Tri Hita Karana, mari kita bersama pahami bahwa Alam adalah sahabat sejati kita, tanpa alam apalah jadinya kita, karena alam sendiri memberi hidup buat manusia. Kelahiran manusia ke dunia bukanlah untuk menguasai alam, dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Ingatlah bahwa alam tidak akan mampu memenuhi nafsu keserakahan manusia, akan tetapi alam hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.  Mari kita galakkan penghijauan dengan motto “Semilyard Pohon”, baik dilakukan  secara perorangan maupun secara kolektif. Swasta maupun pemerintah mesti bergandeng tangan menjaga alam kita agar tetap hijau, udara jadi segar bencana banjir dapat berkurang. Sehingga pemahaman atas Wana Kertih dan Danu Kertih bukan berhenti pada tatanan ritual, akan tetapi lebih jauh dapat dipahami sebagai aktualisasi diri untuk menjaga kelestarian hutan dan danau sebagai sumber kehidupan. Selanjutnya mari kita maknai sebuah bencana sebagai jalan kesadaran diri untuk selalu hidup berdampingan secara harmonis dengan alam. Jangan hendaknya serakahi alam dengan keangkuhan dan ego kita.

                                                                                                I Nyoman Musna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar