Bencana datang dari Keserakahan
Makan dan minum berlebihan menyebabkan sakit pada
badan
Air hujan turun berlebihan berakibat banjir bandang
Angin
datang dengan kecepatan berlebihan menjadi badai topan
Panas
datang melebihi keadaan biasanya menyebabkan kekeringan
Api
sebagai panas bumi berlebihan akan berakibat gunung meletus
Hiduplah
harmoni dengan Panca Maha Butha
Ketidak-seimbangan
penyebab dari segala bentuk bencana. Baik pada alam kecil(mikrokosmos) ataupun
pada alam besar (makrokosmos). Alam beserta isinya tecipta dari keseimbangan
dengan hukumnya bernama Rta. Manusia
sebagai makhluk berpikir dan berakhlak dititipkan untuk ikut menjaga
keseimbangan semesta. Namun, manusia
sendiri memiliki ego kepemilikan yang begitu besar, maka tidak jarang ke-ego-an
itu manusia menjadi lupa diri untuk
menguasai alam.
Berawal dari rasa kepemilikan manusia yang kuat itulah
ikut memberi andil pada ketidak seimbangan alam, kemudian mempercepat timbulnya
berbagai bencana.
Untuk
menjaga keseimbangan diri manusia terhadap keseimbangan alam dalam menjalani
kehidupan, oleh para tetua kita mengkonsepkan sebuah tatanan hidup harmoni yang
dikenal dengan pilsafat “Tri Hita Karana” yaitu tiga penyebab untuk meraih
hidup harmonis dan bahagia.
Pertama, hubungan harmoni dengan Sang Pencipta alam
ini dengan hidup penuh tawaqal dan bersyukur; kedua, hubungan harmoni dengan
sesama hidup dengan pemahaman bahwa semua yang hidup adalah bersaudara(
vasudewa khutum bhakam) dan yang ketiga, hidup harmoni dengan alam itu sendiri,
karena alam semesta itu juga diri kita sendiri. Apabila konsep keseimbangan itu
dapat teraktualisasikan dalam kehidupan secara sadar dan bijak, niscaya
keseimbangan hidup dengan alam akan dapat terjaga. Selanjutnya bencana alam akan dapat
diperjarang meski untuk menjadi nihil bencana adalah nisbi, karena alam itu
sendiri tetap mengalami perubahan sesuai dengan usia alam yang semakin renta.
Pada
musim penghujan tahun ini hampir diseantero tanah air mengalami banjir. Hampir
tiap hari dalam siaran TV menampilkan bencana banjir dan tanah lonsor. Kota Jakarta
misalnya, dengan gubernurnya yang baru dilantik sudah bertarung bak pendekar
melawan kondisi bajir disetiap sudut jakarta.
Kalau saja kita boleh menyebutkan pak gubernur sebagi “pendekar banjir”.
Berlebihnya air yang turun dari langit berupa curah hujan tinggi berakibat
banjir bandang, itu benar adanya. Disamping curah hujan yang turun tinggi,
manusia sendiri mempunyai andil sebagai penyebab banjir, seperti kurang
disiplinnya masyarakat membuang sampah. Dari hulu bukit dan gunung digunduli,
sementara di hilir tanah ditutupi beton-beton dengan angkuhnya gedung betingkat
dimana-mana. Padahal telah telah diingatkan dalam ritual Wana Kertih, Segara Kertih dan Danu Kertih.
Adapun ritual itu dapat dimaknai sebagai
peringatan pada kehidupan untuk selalu menjaga hutan, laut dan danau agar tetap
dijaga keberadaannya. Bukan untuk dieksploitasi untuk kepentingan individu atau
kelompok tertentu. Kurangnya tanah
kosong yang tersedia sebagai resapan air disaat masim hujan. Hampir disetiap
jengkal tanah diperkotaan ditanami beton dan diaspal, sehingga air tidak bisa
terserap ke tanah. Ketika tidak adanya tanah lapang sebagai resapan, maka semua
alir mengalir ke laut, dalam kurun waktu singkat manusia kekurangan air bawah
tanah. Pada kondisi seperti ini pak gubernur jakarta mengintruksikan setiap rumah tangga
dan bengunan gedung perkantoran untuk
membuat lubang resapan air hujan yang dikenal Biopori. Untuk konsep semacam biopori ini, nenek
moyang orang bali sejak jaman dulu telah
menyediakan ruang berupa lahan kosong dipekarangan rumah yang disebut karang
luang atau karang embang. Tempat ini sering ditanami pohon buah dan tempat
memelihara ternak sehingga dalam konteks harmoni dan pilosofinya ada perayaan
Tumpek Wubuh (upacara untuk harmoni dengan tumbuhan) dan Tumpek Kandang
(upacara untuk harmonis dengan binatang) . Pekarangan embang inilah sebenarnya
dipakai meresapkan air kedalam tanah, sehingga banjir dapat dihindari dirumah
tangga, namun sekarang karang embang tinggal kenangan dalam kenangan. Kerena
setiap jengkal tanah yang ada dalam pekarangan rumah dipaping dan dibeton
sehingga air hujan singgah ke kamar tidur. Banjar dapat berdampak pada rusaknya
pemukiman penduduk, sulitnya mendapatka air bersih, rusaknya sarana prasarana penduduk,
rusaknya areal pertanian, timbulnya berbagai penyakit, terhambatnya transportasi
darat yang berakibat pada terhambatnya laju perekonomian masyarakat.
Untuk menghindari air hujan begitu lama menggenangi
pekarangan rumah, kiranya dapat dibuat Lubang Resapan Biopori.
Apakah
Lubang Resapan Biopori(LRB) itu, bagaimana cara membuatnya?
Lubang resapan biopri adalah sebuah lubang vertikal di
tanah, dengan diameter lubang 10 cm
dengan kedalaman sekitar satu meter. Biopori itu sendiri merupakan pori-pori berbentuk
lubang(terowongan kecil) yang diberdayakan oleh aktivitas fauna tanah atau
aktivitas akar tanaman, ketika mencari makanan(kompos) yang telah disediakan
dalam lubang( Khamir R Brata, 2007). Lubang resapan biopori adalah teknologi
tepat guna dan ramah lingkungan, karena relatif mudah dilakukan serta dapat
memelihara berlangsungnya proses-proses fisik, kimia, dan biologi. Penerapan
Lubang Resapan Biopori dapat mengakibatkan perbaikan lingkungan perkotaan.
Fungsi yang dimiliki oleh LRB adalah untuk : (1) memanfaatkan sampah organik
menjadi kompos, (2) meningkatkan peran aktivitas biodeversitas tanah dan akar
tanaman; (3) mengurangi emisi gas-gas rumah kaca CO2 dan metan; (4)
meningkatkan laju peresapan air dan cadangan air tanah, dan (5) mengatasi masalah
yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.
Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin
padat, lahan semakin menyempit yang dipenuhi dengan areal pemukiman sangat
padat, maka Lubang Resapan Biopori merupakan hal penting dilakukan disetiap
rumah tangga agar dapat terhindar dari kondisi terendam banjir.
Apabila
kita renung sejenak, bertanya pada diri kita makna dan pesan apakah yang dapat
kita petik di balik sebuah bencana?.
Sepertinya alam berpesan bahwa manusia diingatkan untuk tidak serakah untuk
mengeksploitasi alam. Semestinya alam dihormati sebagai rumah tinggal bersama
hidup berdampingan penuh harmonis dengan konsep cintai diri cintai alam,
sayangi diri sayangi alam. Karena alam sendiri merupakan Ibu dan Bapak sebagai pemberi hidup dalam kehidupan ini. Akankah
kita biarkan alam menangis sedih dan akhirnya murka hanya karena keserakahan
kita?. Tentu jawabnya Tidak!
Meskipun
bencana alam terutama banjir tidak dapat kita hindari seratus persen, namun
kita tidak ikut campur mempercepat proses perusakan alam. Dengan bercermin kepada kearifan tetua kita yang
selalu hidup harmoni dengan alam melalui konsep Tri Hita Karana, mari kita
bersama pahami bahwa Alam adalah sahabat sejati kita, tanpa alam apalah jadinya
kita, karena alam sendiri memberi hidup buat manusia. Kelahiran manusia ke
dunia bukanlah untuk menguasai alam, dengan mengeksploitasi alam secara
berlebihan. Ingatlah bahwa alam tidak akan mampu memenuhi nafsu keserakahan
manusia, akan tetapi alam hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mari kita galakkan penghijauan dengan motto
“Semilyard Pohon”, baik dilakukan secara
perorangan maupun secara kolektif. Swasta maupun pemerintah mesti bergandeng
tangan menjaga alam kita agar tetap hijau, udara jadi segar bencana banjir
dapat berkurang. Sehingga pemahaman atas Wana Kertih dan Danu Kertih bukan
berhenti pada tatanan ritual, akan tetapi lebih jauh dapat dipahami sebagai
aktualisasi diri untuk menjaga kelestarian hutan dan danau sebagai sumber
kehidupan. Selanjutnya mari kita maknai sebuah bencana sebagai jalan kesadaran
diri untuk selalu hidup berdampingan secara harmonis dengan alam. Jangan
hendaknya serakahi alam dengan keangkuhan dan ego kita.
I
Nyoman Musna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar