Melangkah dari Kecerdasan Spiritual
menuju Pembebasan
Tatkala kesadaran Atma melebur
dengan kesadaranMaha Agung
Maka yang tersisa hanyalah
kebahagiaaan tanpa batas
( great happiness: pen)
Disetiap perenungan
akan muncul pertanyaan untuk apa sang Pencipta memberi kecerdasan setiap insan
kehidupan? Apakah hanya untuk mempermudah melakukan kehidupannya? Ataukah
kecerdasan itu ada memang sebagai pelengkap dari proses penciptaan? Adakah
suatu kecerdasan yang dapat membebaskan diri dari proses penciptaan menuju ke-
keabadian? Pertanyaan seperti itulah yang sering menghantui diri disetiap
perenungan kapan dan dimana perenungan itu dilakukan.
Telah diketahui bahwa
kecerdasan yang sudah diperkenalkan oleh para ahli psikologi seperti Kecerdasan
Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ)pertama kalai dilontarkan oleh
Alfried Binet, seorang psikolog Perancis pada awal abad ke-20. seterusnya
jelang akhir abad ke-20 oleh Daniel Goleman memomulerkan Kecerdasan Emosional atau
Emotional Quotient (EQ). Manusia dianggap cerdas bukan hanya dari kemempuan
inteketual semata, akan tetapi perlu memiliki hati nurani yang bersih( Positif
filing better than positif thanking). Kemudian ditengah derasnya arus globalisasi,
EQ dirasa belum cukup. Maka munculah Kecerdasan Spiritual atau Spiritual
Quotient (SQ) di abad ke-21 atas hasil riset Danah Zohar(Harvard
University) dan Ian Marshall(Oxford University).
Bahwasanya didalam otak manusia ada yang namanya God Spot Daerah ini dianggap
sebagai pusat spiritual(spiritual center) yang letaknya diantara jaringan otak
dan saraf yang memintal jalinan makna pengalaman hidup.
Dengan adanya kecerdasan seperti itu,
apakah akan menjamin untuk setiap insan
kehidupan meraih pembebasan? mengingat tujuan hidup setiap insan adalah
kelanggengan abadi(immortality). Kebahagian abadi melalui kesadaran supra,
kedamaian abadi, itu semua hanya kata-kata indah dalam melukiskan sebuah nikmat
kesadaran abadi. Permasalahan dan pertanyaan yang mungkin muncul pada diri
kita, apakah kita cukup hanya terpuaskan dengan kata-kata indah itu? Apabila jawabnya
tidak, maka hendaknya jangan berhenti sampai disana. Teruskan langkah menuju ke
kesadaran yang lebih dalam serta alami, bukan sekedar berteori. Seperti halnya
hendak melihat bulan. Menghadaplah keatas lihat bulan dilangit, bukan di
tempayan yang berair, karena bulan yang tampak pada tempayan itu hanyalah
bayangan.
Tujuan
hidup pada dasarnya adalah menyadari adanya lapisan jiwa(Atma) yang lebih
tinggi disebut Diri sejati yang
bersemayam didalam diri, dan mengintegrasikan diri itu dengan alam sadar kita setiap hari. Ketika kesadaran kita
sudah melewati kesadaran materi dengan kecerdasan IQ dan EQ, maka selanjutnya
menuju kesadaran jiwa(Atma) melalui kecerdasan SQ. Dari kesadaran diri sebagai
Atma maka menuju ke kesadaran Agung Parama
Atma. Kesadaran Atma merupakan kereta kencana untuk ditumpangi agar sampai
pada kesadaran hakiki( dari kesadaran transenden ke imanen). Tuhan dalam diri
kita hanya terwujud apabila kita mengharuskan diri kita kepada pengendalian.
Tuhan bekerja dalam diri tetapi ini memerlukan usaha supaya Dia bersinar kesegala penjuru. Demikian
tertuang dalam Upanisad-upanisad Utama. Demikian pula halnya Atma yang ada pada
setiap mahluk. Bagai mentega ada dalam susu, seperti api yang tersembunyi pada
kayu.
Kecerdasan Spiritual
sampai saat ini dipandang sebagi kecerdasan yang paling tinggi. Dari kecerdasan
spiritual yang bersinar cemerlang, tidak
jarang ditemukan pengetahuan yang sulit dicerna dengan kecerdasan yang lain( IQ
dan EQ), mungkin bisa kita sebut pengetahuan universal ( univers of knowlages).
Pengetahuan semacam ini dikenal dengan Wahyu yang sering di terima oleh para
mahayogi. Ketika kecemerlangan cahya spiritual berkembang memenuhi cakrawala
pikiran dan hati nurani, maka bunga cinta kasih universal akan mekar menebar
kedamaian, ketentraman, kebahagian serta kebijaksanaan. Kesadaran dan cinta
kasih universal terus bertumbuh, kemudian berkembang menuju kesadaran cinta
kasih Maha Agung. Kondisi seperti ini akan bisa terjadi apabila kesadaran diri sang
Aku sebagai jiwa (Atma) dapat melebur
kepada kesadaran sang AKU( Maha
Agung). Inilah saat Samadhi yang
dialami bagi sang meditator(great unity). Keadaan ini dapat diumpamakan bagi
air hujan yang telah menyatu dengan air laut. Tak ada lagi pemisahan mana air hujan, yang tampak hanyalah kilauan air
laut di samudra luas. Tiada lagi batas-batas pemisah antara Aku-Kamu, tiada
lagi sekat – sekat, tiada lagi Nama, Rupa, dan agama. Hanya penyatuan dengan yang
Agung maha luas sempurna. Yang dapat dirasakan hanyalah kebahagian
diatas kebahagian(unlimited happiness). Kemudian pada saat seperti ini japa
yang dilantunkan merupakan mantram sangat pingit yaitu “ Aham Brahma Asmi”. Demikian selanjutnya, apabila kesadaran ini
dapat terus terjaga dalam kehidupan sehari-hari, maka akan mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai dalam pilosofi “Tatwam Asi” dan “Vasudewa
Kutumbakam”.
Jalan menuju kesadaran kebebasan hanya akan dapat ditempuh
apabila mampu melepaskan diri dari keterikatan material(maya) menuju kesatuan
yang hakiki(absolut), melalui kesadaran dan Kecerdasan Spiritual(SQ). Hanya
keterikatan pada sang Maha Agung-lah akan mampu kembali kepadaNYA, sementara
keterikatan kepada yang lainnya(maya)
patut di Yadnya-kan.
I
Nyoman Musna,20.02.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar